Monday, August 29, 2005

Media Massa Indonesia Berbohong Lagi tentang Timor Leste*


PADA 8 Mei 2005, majalah Tempo memberitakan penembakan terhadap tentara Indonesia oleh anggota Border Patrol Unit (BPU) Kepolisian Nasional Timor Leste di Daerah aliran sungai Malibaca yang membatasi Timor Leste dan Indonesia.
Tak satupun sumber Timor Leste dikutip. Sumber Indonesia yang dikutip pun hanya sumber pemerintah seperti pejabat militer atau pejabat sipil. Pernyataan Kolonel Amir Hamka Manan, Komandan Korem 161 Wirasakti Kupang bahkan dijadikan eye-catcher.

Klarifikasi terhadap sikap pemerintah Timor Leste malah didapatkan dari Kolonel Manan. Singkat cerita, Tempo melaporkan beberapa hal: (1) bahwa pasukan Indonesia sedang melakukan patroli rutin dan memergoki pelintas batas, (2) bahwa para penyelundup yang bersenjatakan parang, mengancam dan melempari tentara Indonesia (3) bahwa penembakan dilakukan terlebih dahulu oleh pihak Timor Leste, (4) bahwa lima polisi pelaku penembakan telah dinonaktifkan dan empat dari sembilan warga sipil yang terlibat penyeludupan telah tertangkap.

Sebagaimana jadinya sebuah pemberitaan yang sepihak, apa yang hilang dari pemberitaan Tempo adalah kemungkinan lain dari apa yang keluar dari mulut sumber resmi seperti pejabat militer. Apa yang ditulis Tempo ternyata jauh berbeda bahkan bertolak belakang dengan versi polisi Timor Leste, setelah diklarifikasi oleh penulis langsung ke tempat penembakan di sub-distrik Tapo Memo Timor Leste.

Pihak kepolisian Timor Leste menyatakan bahwa pihak pasukan Indonesia justru membekingi penyeludupan. Komandan BPU di Tapo Memo, Abilio Carvalho mengatakan: “Bagaimana bisa dikatakan berpatroli dan memergoki pelintas, kalau barang-barang dari Timor Barat ditumpuk dulu di pos tentara?” Carvalho mengatakan bahwa penembakan itu terjadi saat anggota TNI melakukan transaksi curang dengan masyarakat dimana isi jerigen yang ditransaksikan bukanlah minyak tanah melainkan air.

Seorang pelaku akhirnya mengetahui kecurangan ini dan berlari ke arah Timor Leste tanpa membayar untuk memberitahu teman-temannya yang telah lebih dahulu melakukan transaksi. Tiga anggota TNI lantas mengejar ke arah Timor Leste namun dihadang oleh polisi Timor Leste. Peringatan pihak Timor Leste tidak diindahkan.

Bahkan Lettu Teddy Setyawan terlebih dahulu menembak tiga kali di dalam wilayah Timor Leste. Polisi Timor Leste akhirnya menembak paha kiri Lettu Tedy Setyawan. “Kalau kami memang ingin membunuh mereka, mereka tidak akan kembali hidup-hidup, karena ada yang sudah masuk sampai dalam air dan gampang menembaknya” kata seorang anggota BPU di pos Tapo Memo.

Hasil investigasi sementara yang dilakukan Kolonel Fernando Reis, Perwira Penghubung Militer PBB pun ditolak oleh Komandan Satgas Pamtas NTT-Timtim, Letkol Art Yul Aviandi.

Pemberitaan sepihak ini tak hanya dilakukan oleh Tempo. Republika-online 16 Mei 2005 mengutip Kol. Manan yang meragukan kenetralan penyelidik PBB dan karenanya menolak secara tegas hasil investigasi itu. Media Indonesia Online bahkan mengutip Kol.

Manan yang menyatakan bahwa penembakan itu telah direncanakan. Wartawan senior Antara, Peter Tukan panjang lebar menguraikan hubungan sejarah dan budaya Timor Leste dan Timor Barat di Antara News, sambil menuduh Pasukan Penjaga Perdamaian PBB, “bangsa Barat” dan “bangsa tertentu” telah mengadu domba kedua belah pihak. Detikcom menulis: Penembakan pada Tedy Setyawan terjadi akibat penyerangan sekelompok warga bersenjata dari Timor Leste.

Memang bukan baru sekarang pemberitaan media massa Indonesia tentang Timor Leste sarat propaganda. Invasi Indonesia yang didasari oleh pre-text Fretilin sebagai ancaman komunis lain di Asia Tenggara selain Vietnam, ditelan mentah-mentah oleh media massa Indonesia.

Menjelang pendaratan pasukan Indonesia di Timor Portugis pada tahun 1974, propaganda anti-komunis mulai memenuhi halaman-halaman media massa Indonesia. Awal Agustus 1974 sejumlah media massa Indonesia terutama Berita Yudha, mulai menuduh Asosiasi Sosial Demokrat Timor (Associacão Social Democrata Timorence, ASDT) mencari dukungan komunis.

Sejak pertengahan 1974 RRI Kupang telah mengudarakan sejumlah siaran yang mencoba mendiskreditkan dua partai utama, mencap Fretilin sebagai komunis dan UDT sebagai neo-fasis. Media-media di Indonesia mengangkat cerita tentang infiltrasi Komunis Cina ke koloni ini, laporan tak pernah terbukti kebenarannya.

Juga ada sejumlah berita tentang kekerasan politik, misalnya pada 12 September 1974 Sinar Harapan, menurunkan laporan tentang pembunuhan liurai Ainaro bersama lima orang keluarganya. Juga tak pernah terbukti kebenarannya. Di akhir tahun 1974 juga ada sejumlah laporan yang salah tentang orang Timor yang mengungsi ke wilayah Indonesia untuk menghindari kekerasan dan penyiksaan. November 1974, pers Jakarta memuat cerita tentang keterlibatan Cina (terutama Maois) dalam masalah Timor yang menyitir bahwa demonstrasi-demonstrasi dibiayai oleh ‘Cina kiri’. Sebuah artikel Berita Yudha memberitakan empat anggota klandestin Cina memasuki Timor lewat Australia.

Topik yang tidak pernah disentuh samasekali oleh media massa Indonesia adalah manuver diplomatik dan taktik disinformasi yang lancarkan operasi intelijen Indonesia terhadap Timor Portugis sejak Oktober 1974.

Operasi yang diberi nama Operasi Komodo itu melibatkan sejumlah intel sipil dan militer dibawah koordinasi Bakin/Opsus dipimpin oleh Jenderal Ali Murtopo, asisten pribadi presiden Soeharto. Sampai Februari 1975 propaganda Bakin/Opsus lewat media-media massa Indonesia mencapai puncaknya. Propanganda-propaganda ini bertujuan mengantagoniskan tim dekolonisasi portugis yang sedang berusaha keras memperkuat komitmen mereka terhadap penentuan nasib sendiri rakyat Timor, dan untuk menghancurkan koalisi UDT dan Fretelin.

Selama masa pendudukan Indonesia, jelas gerakan-gerakan pembebasan Timor Leste telah diadili lebih dahulu oleh media, sebelum diadili oleh pengadilan. Media seakan tak mampu melepaskan diri dari “kewajiban” menjadi corong penguasa.

Hasil penelitian penulis tentang pemberitaan media massa Indonesia tentang Timor sejak tahun 1974-1999 menunjukkan bahwa hanya majalah Tempo yang relatif berimbang dalam pemberitaan, dibanding media mainstream lain seperti Kompas, Sinar Harapan atau Suara Pembaruan, dan Media Indonesia. (Messakh, 2004).

Ketiga perang saudara meletus di Timor pertengahan Agustus 1975 misalnya, hanya Tempo yang mengirimkan wartawan George Junus Aditjondro ke Dili dan Salim Said ke Portugal. Hasilnya, laporan utama edisi 6 September 1975 yang diberi judul utama; “Cerita dari Portugal” lumayan berimbang.

Walaupun disana sini muncul caption foto yang terasa tendensius dan mengganggu, berimbangnya peliputan Tempo ini menunjukkan suatu pencapaian yang luar biasa jika mengingat kontrol yang luar biasa terhadap media pada saat itu. Kita ingat baru awal tahun 1974 sejumlah pers yang vokal seperti Indonesia Raya dan Mahasiswa Indonesia dibredel pasca peristiwa Malari.

Media jelas bukanlah pengadilan yang berhak menentukan benar dan salahnya masing-masing pihak. Tetapi dengan hanya menggaungkan suara sumber-sumber dominan, media jelas telah mengambil alih tugas pengadilan. Pengadilan oleh pers inilah yang berlaku terhadap gerakan pembebasan selama masa pendudukan Indonesia di Timor Leste.

Apa yang dikatakan Noam Chomsky dan Edward Herman (Manufacturing Consent - The Political Economy of the Mass Media, 1988) sebagai propaganda media adalah kondisi dimana media cenderung melayani tujuan-tujuan elite yang dominan di dalam negara dimana kendali kekuasaan sepenuhnya ditangan birokrasi negara dimana kontrol monopolistik dan aturan formal penyensoran atas media diberlakukan.

Model propaganda ini menguraikan ketidakdilan dalam kekayaan dan kekuasaan dan efek bergandanya pada kepentingan dan pilihan media massa. Uang dan kekuasaan dapat menyaring habis berita yang layak diberitakan, meminggirkan lawan atau pihak yang bertentangan, dan membiarkan penguasa dan kepentingan-kepentingan pribadi yang dominan menyebarkan pesan mereka ke publik.

Menurut model ini, untuk bisa dimuat sebuah berita harus melewati sejumlah filter: (1) besar kecilnya kepemilikan dan terkonsentrasinya kepemilikan media, dan orientasi profit dari perusahaan media massa yang dominan; (2) periklanan sebagai sumber pendapatan utama media massa. Seperti yang dikatakan McLuhan: “Iklan selalu merupakan berita baik”. Untuk menjaga keseimbangan iklan, media perlu memuat sebanyak mungkin berita buruk. Analisis ini sebagian menjelaskan kesulitan para politisi menjual pesan positif, dan munculnya spin-doctor. (3) ketergantungan media kepada informasi yang disiapkan oleh sumber-sumber pemerintah, bisnis dan “ahli” yang dibiayai atau disenangi sumber-sumber utama dan agen kekuasaan tersebut; (4)”flak” sebagai sebuah tujuan untuk mendisiplinkan media; dan (5)”anti-komunis” sebagai sebuah agama nasional dan mekanisme kontrol.

Elemen-elemen ini berinteraksi dan memperkuat satu sama lain. Bahan mentah untuk sebuah berita harus melewati filter-filter ini. Apa yang tersisa kemudian hanyalah ampas untuk diberitakan. Hasil saringan ini pertama-tama harus cocok dengan diskursus, interpretasi, dan definisi tentang apa yang layak diberitakan (newsworthy) yang sekaligus menjelaskan dasar dan pola kerja dari apa yang disebut sebagai propaganda.

Propaganda media massa seperti inilah yang meracuni hati dan pikiran banyak orang Indonesia tentang Timor. Selama lebih dari 24 tahun orang Indonesia tidak pernah mengetahui sepenuhnya apa yang terjadi di Timor Leste.

Sejarah Timor adalah sejarah tersembunyi bagi banyak orang Indonesia. Yang tertanam dalam benak kebanyakan orang Indonesia adalah bahwa orang Timor tidak tahu berterima kasih, sudah dilepaskan dari komunisme dan dianak-emaskan dalam pembangunan, tapi selalu ingin memberontak.

Yang tidak muncul dalam benak kita adalah bahwa pemerintah dan militer Indonesia telah memperkosa kemerdekaan orang Timor dan bahwa pihak diplomat dan intelijen Indonesia berada di balik rekayasa perpecahan partai-partai dan membesar-besarkan keinginan untuk berintegrasi dengan Indonesia yang sebenarnya diinginkan oleh tak lebih dari 8% pengikut partai Apodeti. Orang-orang Apodeti yang kemudian pro-Indonesia jelas menginginkan kemerdekaan. Ideologi komunis menjadi racun yang mujarab. Karena itulah koalisi antara Fretilin dan UDT perlu dihancurkan agar lebih banyak orang Timor yang pro-intergrasi. Koalisi itu hanya berumur kurang lebih seminggu. Setelah koalisi UDT-Fretilin pecah, terbentuklah Movimento Anti-Comunist (MAC), yang merupakan fusi partai UDT, KOTA dan Trabalista untuk mengayang Fretilin yang dituduh komunis.

Sejarah Timor Leste merupakan sejarah yang tak lepas dari propaganda media, baik media massa Indonesia maupun media-media barat yang semula menyantap mentah-mentah apa yang dikeluarkan Antara, kantor berita resmi pemerintah Indonesia. Propaganda secara sadar maupun tidak jelas membuktikan bahwa tangan sejumlah media juga berdarah-darah dalam sejarah Timor.

Semestinya, propaganda semacam ini semakin absen ketika kepemilikan media-media tidak dimonopoli penguasa dan sensor resmi tidak lagi diberlakukan. Apalagi ketika media aktif bersaing, secara rutin menyerang dan membeberkan kesalahan korporasi dan pemerintah, secara agresif menggambarkan diri mereka jurubicara kebebasan berpendapat dan kepentingan umum.

Apa yang tidak terbukti adalah keterbatasan dari kritik media dan adanya ketidakdilan yang luar biasa dalam pengarahan sumberdaya dan efeknya pada akses kepada media swasta dan pada tingkah laku serta penampilan media.

Lalu apa sebenarnya masalah kronis pemberitaan media massa Indonesia tentang Timor Leste? Ada semacam pola yang berulang dalam pemberitaan media massa Indonesia sejak tahun 1975 sampai sekarang.

Pertama, ketergantungan pada sumber-sumber resmi pemerintah atau sumber yang pro pemerintah. Media massa tertarik ke dalam hubungan symbiotik dengan sumber-sumber informasi yang powerful melalui kebutuhan ekonomis dan pertautan kepentingan. Media membutuhkan sumber aliran yang kuat dan reliable untuk bahan mentah berita. Media mempunyai tuntutan rutin berita dan jadwal imperative yang harus mereka penuhi. Media sebesar apapun tak mungkin mempunyai reporter dan kamera di semua tempat dimana berita penting mungkin saja muncul. Ekonomi mengarahkan mereka memusatkan sumberdaya mereka dimana berita sering muncul, dimana desas-desus dan bocoran penting sering muncul dan dimana konferensi pers secara rutin dilakukan. Mark Fishman menyebut hal ini sebagai "the principle of bureaucratic affinity: only other bureaucracies can satisfy the input needs of a news bureaucracy."

Pola kedua adalah ideologi anti-komunis yang sebelumnya dilayani dengan baik yang sekarang mulai berganti wajah menjadi ideologi anti-asing, sejak isu komunisme menjadi isu yang tak hangat lagi pasca Perang Dingin. Sebagaimana kebanyakan orang, media massa pun seperti setengah hati melepas Timor. Bagaimanapun usaha untuk memoles sebuah berita, dendam terhadap keterlibatan entitas asing akan nampak dalam pemberitaan.

Ketiga, kekuatiran akan tanggapan negatif (flak) terhadap pernyataan atau pemberitaan media. Perang melawan premanisme yang gencar dalam media massa Indonesia merupakan salah satu bukti bahwa “flak” merupakan sesuatu yang mengancam dan mahal bagi bagi media. Pemberitaan tentang Timor Lorosae tentu berada di bawah bayang-bayang tanggapan negatif ini.

Lepas dari sejumlah pencapaian profesionalisme yang mengagumkan dari media seperti yang terjadi pada Tempo, filter-filter ekonomi dan politik ternyata masih berlapis-lapis dalam news-room media massa di Indonesia.

Dengan hanya menggaungkan suara dari sumber-sumber resmi seperti TNI dan anggota DPR yang belum tentu berada di tempat kejadian, media massa Indonesia jelas telah menjadi corong propaganda kelompok dominan. Apalagi komentar sumber resmi itu sering bernada jingoistik, percaya secara ekstrim bahwa negara sendiri selalu yang terbaik. Wakil Ketua DPRD NTT, Kristo Blasin yang dikutip Tempo misalnya menyatakan bahwa warga Timor Leste saat ini sedang mengalami krisis ekonomi, sehingga kerap berbuat apa saja untuk mempertahankan hidupnya, termasuk melakukan penyeludupan. Cuap-cuap para anggota DPR sekarang mengingatkan kita akan HJ Naro, wakil ketua DPR yang mewakili daerah Nusa Tenggara, yang sejak awal dekolonisasi Timor, rajin berkomentar soal Timor dan samasekali tidak menyukai pemberian dukungan kepada orang Timor untuk membentuk suatu negara merdeka.

Ideologi anti-komunis jelas tidak begitu relevan lagi setelah berakhirnya Perang Dingin, tetapi pola “mencari kambing hitam” tetap berulang dalam hubungan antar bangsa. Dan media yang gemar mengutip komentar pejabat bernada demikian, sebenarnya telah mempropagandakan dengan baik semangat itu. Kebenaran dan fakta bukan lagi ukuran atas nama nasionalisme sempit. Pertanyaan yang muncul, apa untungnya melakukan pemberitakan sepihak yang dengan sendirinya berarti menjelekkan Timor Leste di saat pemimpin kedua negara ini telah melakukan berbagai langkah untuk hidup berdampingan secara damai?

Pemberitaan peristiwa penembakan di sungai Malibaca ternyata membuktikan media massa Indonesia belum bergeser jauh dari kegemaran mengumandangkan suara kelompok dominan. Pemberitaan yang sekedar mengutip komentar pejabat (talking news) seperti ini menunjukkan dengan jelas bahwa media massa sebenarnya tidak peduli dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi dibalik sebuah peristiwa. Peristiwa itu tentu berharga sebagai berita (newsworthy) tetapi kebenaran dibalik peristiwa itu tidak pernah disentuh.

Sebuah penyeludupan bukan pencurian. Penyeludupan adalah sebuah transaksi ilegal, yang tentu melibatkan lebih dari satu pihak. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah dengan siapa rakyat Timor Leste melakukan penyeludupan. Yang jelas, kita tahu bahwa hanya TNI dan Polri yang punya kuasa dan senjata di wilayah perbatasan.

Rezim telah berubah, tetapi ternyata media belum berubah. Sumber tentara dan offisial pemerintah tetap menjadi sumber kegemaran entah karena alasan keterbatasan sumber daya, kuasa absolut editor atau kemalasan wartawan.

Padahal menyeberang ke Dili bukan masalah besar bagi media besar macam Tempo. Media massa Indonesia, sadar atau tidak melayani kepentingan kelompok dominan dengan baik dalam soal Timor Leste. Apapun kepentingan itu, propaganda semacam ini jelas menguntungkan pihak yang pesan sampai kepada pembaca. Pihak yang pesannya tak sampai jelas menjadi korban pengadilan media. Berubahnya istilah Timor-Timur menjadi Timor Leste dalam pemberitaan media massa Indonesia tak membuktikan perubahan apa-apa.

*pernah dimuat di majalah Talitakum, edisi Juni 2005

Kembalinya Seorang Chau hafa Malai[1]


Upacara peguburan jenazah dalam klan Chailoro yang mendiami daerah-daerah paling timur (Ponta Leste) Timor-Leste, membuat kita berpikir kembali tentang arti kematian.


RUANGAN berukuran 4x5 meter itu cukup penuh dengan orang. Syair-syair adat yang disebut Sa’u terus dilantunkan bersahutan-sahutan. Peti jenazah telah ditutup. Lilin-lilin, dan karangan bunga masih menghiasi ruangan.

Di dinding tambak berpuluh kain adat (larin lau) mengelantung lengkap dengan name-tag dari klan mana atau dari marga mana kain-kain itu berasal.[2] Di bagian kepala peti nampak foto almarhum lengkap mengenakan dua buah estrela dari pemerintahan kolonial Portugis.[3]

Lukisan Yesus tepat menggantung di bagian atas kepala peti. Juga tongkat kerajaan Chailoro berdiri tegak di atas kepala peti.

Sudah empat belas hari ini, nyanyian-nyanyian sa’u ini hampir tidak pernah putus dilantunkan, terutama di malam hari. Ya, empat belas hari sudah, jenazah Pedro Do Carmo Vieira yang meninggal dalam usia 90 tahun, berbaring di ruangan itu.

Anak cucu, sanak keluarga dan handai taulan berdatangan namun pemakaman belum juga bisa dilaksanakan. Menurut adat klan Chailoro[4], pemakaman orang yang meninggal diatas usia 60 tahun memang harus berdasarkan keputusan para tetua klan. Jenazah tak boleh segera dimakamkan dan pemakaman harus dilaksanakan saat subuh bersamaan dengan terbitnya sebuah bintang di sebelah timur langit yang disebut No Ipi.[5]

Dua kali sudah pemakaman ditunda oleh para tetua adat dan pagi ini pemakaman akan dilaksanakan. Dua minggu sudah, orang-orang Suco Pairara, Sub-distrito Moru, Distrito Lautem, Timor Leste seperti tak tidur. Tarian-tarian adat dibawakan dan nyanyian sa’u mulai dilantunkan sejak senja sampai subuh. Para anggota klan yang datang dari berbagai kampung[6] berpartisipasi dalam tarian khusus untuk kematian yang disebut Sikire –Vaure.

Sikire adalah tarian khusus untuk perempuan dan anak-anak perempuan. Nenek-nenek, perempuan-perempuan muda dan gadis-gadis kecil berputar membentuk lingkaran besar dengan langkah kaki yang disesuaikan dengan bunyi gong (titiru) dan tambur (tipalu) yang mereka tabuh sendiri. Masing-masing orang membawa titiru atau tipalu-nya sendiri. Nampak gadis-gadis cilik yang tidak mempunyai titiru, menggantikannya dengan tutup panci atau periuk yang dimencongkan bagian tengahnya. Seorang perempuan dewasa biasanya mengambil inisiatif di depan barisan, memimpin barisan, mengawali nada serta gerakan tarian. Yang lain akan serentak menyesuaikan diri dengan lagam pukulan tipalu dan titiru serta gerakan tarian. Harmoni dan stamina adalah dua kata yang dapat menjelaskan tarian mereka. Jika ada yang salah memukul titiru atau tipalu, tentu tarian akan menjadi kacau balau.

Para laki-laki memperagakan tarian yang disebut Vaure. Sepasang penari mengenakan kain adat yang diselempangkan pada bahu dan dua buah sapu tangan pada jemari masing-masing tangan memperagakan tarian ditengah lingkaran yang dibentuk kaum perempuan. Keduanya bersambar-sambaran seperti burung elang. Tarian pedang juga diperagakan oleh sepasang penari perempuan. Perempuan pun dapat melakukan Vaure dengan sepasang pedang (hi’itu) masing-masing ditangan kiri dan tangan kanan.
Tarian ini menjadi hiburan tersendiri bagi mereka yang hadir. Sayangnya laki-laki tidak dapat melakukan sikire.

Sementara sikire dan vaure berlangsung, sekali-sekali terdengar sa’u dari luar ruang jenazah maupun dari dalam ruangan. Sikire, Vaure dan Sa’u hanya boleh berlangsung selama jenazah belum dikuburkan. Setelah itu, semua harus kembali hening.

Tepat pukul tiga dinihari waktu Timor Leste, ketika tanggal di jam saya menunjuk angka 13 Agustus 2005, mereka yang tertidur mulai dibangunkan. Para penari telah lelah dan berhenti, para tua adat dan sejumlah keluarga dekat telah berkumpul di ruangan jenazah. Sa’u masih terus dilantunkan. Nampak juga arak tradisional (tua harak) disuguhkan, menambah semangat mereka yang melakukan sa’u. Sekali-sekali seorang tua adat menoleh keluar memastikan munculnya sang bintang pagi. Para pengusung peti mulai sibuk mempersiapkan segala sesuatu menyangkut pengusungan jenazah.

Sekitar pukul lima, sudut ruangan tempat peti jenazah berada mulai ditutupi tirai kain-kain adat. Tak semua orang boleh menyaksikan bagian upacara ini. Hanya kaum laki-laki Chailoro.

Suasana menjadi hening. Sa’u-sa’u berhenti dilantunkan. Tujuh buah lilin (ucu pacu) dinyalakan di dalam dua buah piring di atas peti. Ketujuh lilin ini menandakan jumlah ketujuh bersaudara yang menjadi nenek moyang klan Chailoro. Lilin-lilin ini haruslah merupakan lilin yang diracik sendiri dengan menggunakan lilin madu. Lilin buatan pabrik tak boleh digunakan.[7]

Beberapa orang tua duduk di sebelah kiri dan kanan peti jenazah. Sebuah ritual pengucapan syair (No’o lolo) dimulai lagi. Seorang tetua memulai sebuah percakapan. Nada dan tekanannya berbeda dari percakapan biasa. Mirip litani. Itulah Yamari Nereca’a yaitu doa menelusuri jejak para leluhur. Tujuan doa-doa ini adalah menyapa kembali para leluhur dan hanya boleh dilakukan oleh para Chailoro Ratu[8]. Sebagaimana lazim sebuah litani, bahasa yang digunakan adalah tingkatan sastra yang tinggi dan bahkan tak semua orang Chailoro bisa memahaminya. Empat orang Chailoro Ratu [bangsawan Chailoro] bergantian membawakan doa-doa ini. Pada bagian-bagian tertentu dari doa, mereka hanya membuka mulutnya tetapi tak mengeluarkan sepatah katapun, menandakan syair-syair itu terlalu sakral untuk didengarkan. Hanya sang pembawa litani yang mengetahui lafal dan artinya. Satu kesan yang saya tangkap: mereka berbicara dengan otoritas dan wibawa yang luar biasa, percaya diri dan didengarkan oleh semua yang hadir. Tetapi juga tidak terkesan kaku dan formal. Ada moment dimana mereka tersenyum lebar bahkan tertawa.[9] Sebuah pembicaraan paripurna oleh orang-orang yang telah makan asam garam kehidupan.

Hampir satu jam lebih berlalu tanpa terasa. Doa-doa panjang itu diakhiri dengan sebuah teriakan bersama. Mungkin itu sebuah pekik kemenangan, mungkin juga semacam mars untuk menyemangati. Yang jelas, teriakan mirip yel-yel suporter sepakbola itu membuat saya sendiri seperti ingin ikut berteriak. Saya merinding. Teriakan itu menjadi pertanda peti jenazah akan diusung keluar. Saat yang bersamaan, tangis dan ratapan perempuan dan anak-anak justru semakin terdengar memilukan. Di luar, sebuah drum (papa kasa) perlahan menderu, seakan ingin memberi tahu bahwa saatnya telah tiba bagi sang calu[10] untuk pulang. Memang, siapapun kita, ada harinya sebuah drum akan ditabuh untuk kita. Anak-anak dan cucu-cucu mulai berbaris dalam isak tangis, masing-masing dengan karangan bunga, atau lilin di tangan, mengantar sang Empat generasi berdiri mengantarkan sang calu pulang.

Melihat gadis-gadis kecil, anak-anak tanggung dan nenek-nenek tua berdiri menjalankan kewajiban terarkhir untuk abo [kakek] mereka, aku tak dapat menahan airmataku.

Di luar orang-orang telah berdiri menanti, saat peti jenazah bergambar bintang itu perlahan dibawa keluar. Para pemuda pengusung peti pun seakan tak sabar lagi menjalankan tugas mengangkat peti yang disebut le ule. Di depan rumah peti jenazah dibawa berputar tujuh kali sebelum perjalanan dilanjutkan.[11] Setelah berputar tujuh kali di halaman, iringan-iringan mulai menuju liang lahat.

Namun perjalanan ini tidak seperti yang kita bayangkan tentang lazimnya sebuah iring-iringan menuju kuburan. Peti diayunkan-ayunkan ke atas, ke bawah, didorong ke depan dan ke belakang oleh orang-orang muda terpilih itu sambil menyanyikan syair penyemangat bersahut-sahutan. Itulah le ule, suatu tindakan sukacita yang menandakan masalah-masalah di dunia ini telah selesai dan sang jenazah bisa pulang dengan sukacita. Syair-syair yang dinyanyikan para pengusung peti itu antara lain meminta berkat, rejeki, jodoh, dan keturunan melalui orang yang meninggal.

Aku tak mengerti apa yang mereka katakan, tapi satu pasti adalah kebanggaan yang luar biasa terhadap kebudayaan mereka. Berbahagialah mereka yang tidak malu mengakui jati diri mereka, di masa dimana dunia seakan menjadi sebuah kampung kecil dan modernitas menjadi dewa.[12]

Peti terus beroleng bagai perahu diterpa gelombang, sebentar-sebentar didorong ke depan, sebentar-sebentar dibawa ke belakang. Semua orang mengiring peti sambil beringsut maju, kadang harus menunggu jika peti dilarikan jauh ke belakang. Anak cucu yang sejak tadi berbaris di depan pun harus menunggu. Di depan peti, dua pasang perempuan dan laki-laki nampak mengibas-ngibaskan sapu tangan ke arah peti. Mereka yang menjadi ‘penunjuk jalan’ haruslah berasal dari marga Chailoro dan Paca. Di belakang mereka, seorang laki-laki nampak memegang anyaman kecil (neru moko) berisi padi (ale fahuvari) sambil membuang perlahan-lahan butir-butir padi itu. Ia melakukan apa yang disebut mua fane-horo fane yaitu tindakan simbolik memberi makan kepada tanah.

Perjalanan yang hanya berjarak kira-kira 200 meter ke liang lahat ini memakan waktu hampir sejam. Matahari telah menampakkan wajahnya ketika peti jenazah merapat ke liang lahat. Perjalanan panjang dan melelahkan berakhir sudah, bagaikan perjanan hidup manusia.

Tiba saatnya peti diturunkan ke liang lahat. Tangisan para perempuan dan anak-anak yang sedari tadi menanti semakin terdengar mengiris perasaan. Para laki-laki sibuk menurunkan peti. Sebuah kain wool tebal dan sebuah tas ikut dimasukkan ke liang lahat. Barang milik kesayangan almarhum, biarlah pergi bersama kenangan akan beliau. Beberapa potong kain adat dibungkuskan pada peti sebelum campuran semen menutupi.

Matahari mulai menyengat ketika campuran semen dan tanah utuh menutup jasad lelaki kelahiran Pairara, tahun 1919 ini. Orang-orang sudah meninggalkan kuburan ketika anak cucu dan keluarga dekat menyalakan lilin dan menaburkan kembang di atas pusara kakek tercinta.

Selamat jalan chau hafa malai, selamat jalan sang ‘sang kepala yang berasal dari atas’, selamat jalan Horu Fatu[13] . Aku tak mengenal engkau secara pribadi. Namun, siapapun engkau, engkau pantas menerima penghormatan dan anak cucumu pantas mengangkat kepala mereka dan bersukaria, sepantas apa yang telah kau capai seumur hidupmu.

Semoga bintang timur menyambut kedatanganmu dan mengenali wajahmu; semoga para leluhur menyinari anak cucumu dengan kebahagiaan dan semangat hidup, sehangat anugrah Sang Kuasa kepada mereka yang menghormati para orang tua dan adat istiadat mereka. Seorang Nabi pernah berkata (Amsal 17.6) berkata “Mahkota orang-orang tua adalah anak cucu dan kehormatan anak-anak ialah nenek moyang mereka.”

Pairara, 13 Agustus 2005
Bidau Massaur, 17 Agustus 2005

[1] Bahasa Fataluku untuk seorang raja, yang dalam bahasa Tetun disebut Liurai. Cau Hafa malai secara harafiah berarti ‘tengkorak kepala yang berasal dari atas’ artinya sang kepala atau pemimpin yang berasal dari atas. Di Timor Leste terdapat ... bahasa.
 
[2] Sekumpulan kain adat (larin lau) yang adalah persembahan dari para Omara itu disebut vetur lau.
 
[3] Estrela adalah bintang penghargaan (Decoração) yang diberikan oleh pemerintah kolonial Portugis di Lisbon. Biasanya Lisbon memberikan penghargaan semacam ini kepada para Liurai di Timor Leste sebagai bagian dari strategy politik kolonial untuk mengendalikan para pemimpin lokal.
 
[4] Klan Chailoro adalah klan yang mendiami sebagian besar daerah paling timur pulau Timor.
 
[5] No Ipi adalah bintang Timur yang diyakini sebagai salah satu dari tujuh bersaudara dari Klan Chailoro. Enam diantara tujuh bersudara itu yang kemudian membentuk klan Chailoro. Karena unsur kesakralan, tak semua nama tujuh bersaudara itu bisa diketahui oleh semua warga klan, hanya anggota tertua dari warga klan yang biasanya merupakan kepala adat (cau hafa malai) yang mengetahuinya dan sebelum ia meninggal, ia akan menurunkan kepada orang yang ia pilih, yang biasanya adalah anggota klan yang tertua setelah dirinya. Dari ketujuh bersaudara itu, hanya bagian tengah yang umum disebut-sebut, yaitu Sakulolo dan Caipere. Yang lainnya tak boleh sama sekali disebutkan. Enam dari ketujuh bersaudara itu dapat diidentifikasi dari marga yang mereka turunkan yang menetap di enam wilayah yang terpisah di distrik Lautem, sedangkan saudara sulung mereka diyakini tetap berada di ‘langit’ yang bisa dilihat dalam wujud bintang pagi (No Ipi). Keenam marga itu adalah marga Chailoro yang menetap di daerah (1)Pairara, sebagai saudara yang paling sulung dan adik-adiknya di (2) Rasa, di daerah (3) Kokoko, di (4) Setiara, di (5) Kautu (sebuah wilayah di Lolos Pala yang sekarang disebut Lospalos kota) dan di daerah (6) Vauro. Penguburan pada saat munculnya bintang ini, mengandaikan bahwa para leluhur akan mengenal anak-cucu yang kembali kepada mereka.
Menurut cerita turun-temurun, orang Chailoro muncul begitu saja di sebuah lokasi bernama Heler di daerah Lospalos. Dalam bahasa syair Fataluku, bahasa yang digunakan klan Cailoro, nenek moyang mereka muncul pada sebuah masa dimana:
upa koro, ta’a koro (harafiah: itu basah, ini basah)
muaca vele on rei rei (harafiah: tanah masih bergoyang-goyang)
Dalam pengertian klan Chailoro sendiri, kalimat-kalimat itu berarti segalanya belum ada, belum ada tumbuh-tumbuhan yang ada hanya lumpur dan tanah yang masih basah.
Dilihat dari segi deskripsi, ini mungkin menunjuk kepada periode prasejarah tertentu. Di Asia tenggara, genre-genre tuturan adat seperti hikayat, babad, tambo, bini, berurusan dengan masa lalu. Tuturan-tuturan adat ini biasanya membentuk kekayaan persepsi tradisional tentang masa lalu yang dimiliki kelompok-kelompok yang berbeda di kepulauan ini. Genre-genre ini biasanya tidak membagi-bagi masa lalu ke dalam periode-periode waktu tertentu melainkan menekankan keberlanjutan dan perputaran alami dari event-event historis. Untuk penjelasan lebih lanjut mengenai periodisasi pra-sejarah untuk kepulauan Nusantara bisa dilihat pada:
http://arkeologi.net/prehistory.php
Karena menyakini muncul pertama kali di daerah Heler, anggota tertentu dari klan Chailoro sampai sekarang masih sering mengadakan ritual di daerah Heler meminta berkat dan anugrah. Sesaat sebelum jajak pendapat PBB pada tahun 1999 misalnya, banyak orang pergi ke sana untuk meminta perlidungan dan keselamatan. Cerita-cerita menyangkut asal-usul suatu masyarakat seperti ini adalah sangat eksistesial dalam suatu masyarakat, karena menyangkut keberadaan mereka. Dalam ilmu antropologi, cerita semacam ini disebut mitos asali (myth of origin). Kitab Kejadian orang Kristen dan Yahudi yang menceritakan Adam dan Hawa adalah salah satu dari myth of origin yang berkembang di daerah Timur Tengah tertutama daerah Babilonia yang sekarang kurang lebih ada di daerah Iran dan Irak. Cerita ini sebenarnya mempunyai banyak versi dan salah satu versinya adalah sebagaimana yang tercantum dalam Kitab pertama milik kaum Yahudi dan Kristen itu. Sayangnya kisah kejadian ini sering disalahtafsirkan, baik oleh orang kristen sendiri maupun para scientis positifistik yang tidak mengetahui asal-usul antroplogis dan genre kesusastraan dari kisah ini, sehingga lebih sering dianggap sebagai non-sense bagi ilmu pengetahuan modern. Ini adalah salah satu bentuk salah kaprah (kelirumologi) yang cukup skandalistik dalam sejarah ilmu pengetahuan.
 
[6] Anggota klan yang hadir adalah mereka yang hadir secara spontan dan mereka yang harus diundang terlebih dahulu. Pihak keluarga yang tak boleh hadir sebelum diundang disebut Lereno Moco. Lereno Moco terbagi dalam dua jenis: (1) Omara yiatu keluarga saudara laki-laki dari pihak ibu dari beberapa generasi sebelumnya, generasi yang sejajar dengan orang yang meninggal atau generasi dibawahnya; dan (2) Tupur Moko yaitu keluarga dari suadara-saudara perempuan yang telah menikah. Dalam upacara kematian di Pairara ini, Omara dan Tupur Moko yang diundang antara lain dari klan-klan: Latu Loho Ratu, Pair Ratu, Vacumura Ratu, Home Lata, Naza Ratu. Mereka biasanya datang membawa persembahan berupa kain-kain adat (larin lau), dan ternak seperti kambing, kerbau, sapi dan babi sesuai kemampuan. Pihak keluarga lain di luar pihak kedua rumpun keluarga ini, boleh datang segera setelah mendengar tentang kematian. Yang biasanya bertugas mengundang adalah para kaum paca dalam klan Chailoro. Kaum perempuan paca biasanya mengundang mereka yang dekat tempat tinggalnya, sedangkan kaum laki-laki mengundang yang jauh tempat tinggalnya.
 
[7] Orang Chailoro percaya bahwa tradisi membuat lilin sendiri ini telah berlansung jauh sebelum masuknya kebudayaan Eropa ke Timor Leste. Karena itu untuk membedakan dari kebiasaan menggunakan lilin pada saat upacara pemakaman yang merupakan pengaruh gereja Katholik, mereka meracik lilin sendiri untuk digunakan pada pemakaman.
 
[8] Klan Chailoro mengenal tiga strata sosial: Chailoro Ratu (marga tertua/kakak), Paca (marga adik) dan Akanu (marga budak yang umumnya merupakan mereka yang kalah perang, ditangkap dan dijadikan budak).  

[9] Menurut penjelasan sejumlah tetua adat, mereka tertawa karena dalam tuturan tentang kehidupan almarhum, ada bagian yang lucu yang patut ditertawai misalnya mereka memohon jika ia kawin lagi ditempat tertentu, harap memberi tahu, atau jika dalam perjalanannya ia mendapat rejeki, harap dikirim ke anak cucu.
 
[10] Calu=kakek, Nora=nenek. Dalam bahasa Tetun, kakek disebut abo mane dan nenek disebut abo feto.
 
[11] Biasanya jenazah dibawa berputar mengelilingi rumah adat (Le Ziaval)sebanyak tujuh kali. Le Ziaval secara harafiah berarti ‘rumah berkaki’. Sayang sekali rumah tempat sang jenazah disemahyamkan bukanlah sebuah rumah adat dalam pengertian yang sebenarnya. Rumah-rumah adat Klan Chailoro yang mirip rumah Toraja, telah mengalami penghancuran massal selama dua kali yaitu pada saat awal invasi Indonesia di tahun 1975 dan setelah jajak Pendapat PBB tahun 1999. Untuk membangun sebuah rumah adat diperlukan ritual yang cukup rumit dan memakan biaya yang cukup besar, sehingga tak mudah untuk membangun kembali rumah-rumah adat yang dimusnahkan itu. Saat ini hanya tersisa sekitar 3-4 Le Ziaval di seluruh distrik Lautem antara lain di daerah Rasa, Titilari dan di tengah kota Lospalos.
 
[12] Saat artikel ini saya tulis, seorang teman yang sedang berlibur di Paris mengirimkan e-mail yang menceritakan kesannya tentang bagaimana kaku dan monotonnya kebudayaan Eropa klasik yang terepresentasi dalam arsitek menara Eiffel, apartmen Napoleon Bonaparte misalnya. Sementara aku di Pairara mengagumi manusia dan kebudayaan di kampung kecil ini. Paris dan Pairara memang bukan tandingan dalam ukuran kemajuan, tetapi siapa yang bisa menjustifikasi keluhuran budaya manusia.
 
[13] Nama tradisional almarhum. Horu Fatu adalah sebuah binatang bertanduk ratusan. Nama panggilan almarhum adalah Punu Lori.