Tuesday, April 25, 2006

Pelangi di kala senja dan Masa Lalu yang Terkenang


Namanya Samuel Marcal. Dia baru berumur sembilan tahun ketika keluarganya mengungsi ke hutan menghindari serbuan tentara Indonesia. Selain kakaknya yang berselisih usia dua atau tiga tahun darinya, semua adiknya malah masih balita.

Pasukan Indonesia sudah mulai melancarkan serangan-serangan dari wilayah-wilayah perbatasan seperti Maliana dan Suai. Desas-desus yang terdengar ialah : “segera setelah menyerah yang laki-laki akan dibunuh, dibelah dua dan perempuan diperkosa”.

Tiga keluarga mendaki bebukitan mencari tempat aman di hutan, menghindari tentara Indonesia. Mereka cuma punya tiga senjata. Satu senjata laras panjang dan dua pistol.

Maka datanglah saat itu, saat ketika tidak ada bekal yang dapat dimakan lagi. Buah kusambi dan air kali menjadi satu-satunya harapan. Tentara Indonesia mengepung dari segala arah, bagaikan pagar betis.

Semua anggota rombongan sudah lelah. Ada dua pilihan: turun gunung untuk menyerah atau bertahan di hutan. Sang ayah berkata: saya tak mungkin menyerah, laki-laki yang menyerah pasti dibunuh. Tapi perempuan dan anak-anak mungkin tak apa-apa.

Lalu voting pun dibuat, ikut ayah atau ikut ibu. Semua anak dan anggota keluarga yang lain ingin ikut ibu. Hanya Sam dan seorang anak kerabat yang lain memilih ikut sang ayah. Senjata diberikan kepada yang tidak menyerah. “Menembak saja saya belum bisa” kata Sam mengenang bagaimana ia pertama kali memegang senjata api.

Maka mereka pun berpisah. Jalan mendaki dilalui dengan tangis dan air mata. “Kami mendaki sambil menangis, tapi tak ada pilihan”. Sekali-sekali mereka menoleh ke belakang, memastikan ibu dan saudara-saudaranya selamat. Kata sang ayah, jika mereka lewat dengan selamat, kita terus. Tetapi jika kita mendengar tembakan, kita harus menyerang tentara Indonesia, kita tak mungkin membiarkan ibu dan saudara-saudara kamu mati tanpa perlawanan.

Berkali-kali ayah harus naik ke puncak pohon untuk memastikan keselamatan anggota keluarganya yang menyerah.
Setelah ibu dan saudara-saudaranya diperkirakan melewati daerah yang dianggap aman, merekapun bergerak maju.

Di suatu perhentian, sang ayah menyuruh kedua bocah itu bersembunyi sementara ia sendiri menyelinap mencari jalan keluar dari hadangan bala tentara Indonesia. Bekal daging kuda dan masing-masing sepucuk senjata di tangan. Rerumputan ditutup di atas kepala. “Jangan ke mana-mana” pesan sang ayah.

Beberapa lama setelah ayah pergi, terdengar tiga kali tembakan. Berselang beberapa menit sepasukan tentara datang menderu. Kedua bocah itu tetap diam di tempat. “rebut-rebut” begitulah kata bahasa Indonesia pertama yang sempat didengar, tanpa dimengerti artinya. Keduanya hampir tak bernapas di tempat. Apalagi seorang tentara duduk tepat di atas kepala kedua bocah itu.

Sekitar setengah jam setelah para tentara itu pergi, keduanya berlari menyusul sang ibu dan anggota keluarga yang lain. Berhasil menyusul memang. “papa mungkin sudah mati, kami mendengar tiga kali tembakan setelah mama dan adik-adik pergi”, lapor si kecil. Semua duduk tanpa kata. Hanya airmata berlinang.

Selang beberapa jam, muncul sesosok tumbuh merayap dari arah sebuah kali. Ternyata itu ayah yang terluka parah di kaki. Ia dihadang tentara, dan melarikan diri meninggalkan senjatanya. Untunglah ia mampu menyelematkan diri. Sepotong kain diikatkan ke kaki kiri. Ia menyusuri sungai agar tetesan darahnya tidak terlacak oleh musuh.

Dua minggu bertahan, akhir mereka memilih menyerah.
Ia ingat bagaimana ayahnya dipukul orang-orang banyak. Semua orang mengambil bagian. Bukan cuma tangan yang dipakai, tapi juga batu dan kayu.

Untunglah seorang Koramil di Same yang menyuruh seorang Hansip membawa ke rumahnya. “Kamu kristen?” tanya sang Koramil begitu ia sampai di hadapannya. “Iya”,
“Punya Alkitab?”
“Ada tapi di rumah”

Sang Koramil lalu menyuruh dua orang Hansip mengawal sang ayah ke rumah mereka untuk mengambil Alkitab.
Alkitab berbahasa Portugis itu dibolak balik isinya untuk dibandingkan dengan Alkitab berbahasa Indonesia milik sang Koramil. Rupanya sang Koramil belum yakin kalau ayahnya sungguh seorang Kristen. Dalam pikiran militer Indonesia seorang pemimpin Fretilin tak mungkin pemeluk kristen, karena mereka termakan propaganda bahwa Fretilin adalah komunis. Setelah memastikan Alkitab itu sama, sang Koramil memeluk sang ayah.

Baru dikemudian hari mereka tahu kalau, saudara-saudaranya yang tertangkap di Dili menitipkan pesan kepada sang Koramil agar menyelamatkan keluarga sang ayah, karena mereka bukan komunis.

Dalam tahun itu juga, sang Koramil pun mengajak ayah Samuel membangun gereja. Gereja pun berkembang pesat. Banyak orang datang untuk memberi diri dibaptis. Karena ketakutan dituduh komunis, banyaknya orang yang datang memberi diri untuk dibaptis.

Samuel mengingat dalam sebuah peristiwa pembaptisan, dua orang pendeta militer membaptis orang sampai jam tiga pagi. Sayang kakak dari sang ayah dan beberapa orang menolak berpindah agama demi prinsip. Mereka dibunuh oleh karenanya. Dari sinilah asal-usul berkembangnya jemaat protestan di Same, Manufahi.

Namun derita keluarga ini tak jua berakhir. Ada banyak alasan mengapa mereka dimusuhi dan dianiaya: Pemimpin Fretilin, protestan.

Ia ingat bagimana ia dan kakaknya Daniel harus bersembunyi di semak-semak setiap jam istirahat sekolah, karena anak-anak lain akan memukuli mereka, mengangkat mereka dan membuang di lumpur.

Di kala bel jam istirahat akan dibunyikan, ia sudah harus dekat-dekat pintu kelas, memastikan dapat cepat-cepat melarikan diri ke semak-semak. Ia hanya kembali kalau lonceng tanda jam istirahat berakhir. Hanya di kelas ia sedikit merasa aman.

Jangan harap di luar kelas para guru bisa membantu, karena merekapun menanggap anak-anak ini adalah anak-anak GPK yang “wajib” dianiaya. Karena tak kuat menahan aniaya, Daniel sang kakak, memutuskan untuk pindah ke Dili setelah menamatkan SD.

Sang ayahpun berkali-kali ingin dibunuh. “Tapi entah mengapa pertolongan Tuhan selalu luar biasa” ujar Samuel.

Sekali waktu seorang hansip yang terkenal berdarah dingin, diperintahkan menangkap sang ayah. Ternyata, tanpa diketahui pemberi perintah, sang hansip ini adalah anak baptis (God son) dari sang ayah. Si Hansip datang mendahului pasukan algojo pengeksekusi, memberitahukan rencana jahat itu.
“Bapa, saya diperintahkan menangkap bapa untuk dibunuh, saya menerima perintah itu dengan maksud saya bisa memberitahu bapak untuk menyelamatkan diri. Sekarang juga bapa meninggalkan rumah ini” kata sang anak baptis kepada sang bapa baptis itu.

Di lain kesempatan yang diperintahkan justru adalah anak angkat sang ayah. Ia juga menjalankan trik serupa untuk meloloskan sang ayah angkat.

Jam menunjukkan pukul 6.20 ketika pelangi senja menyapu langit di atas Dili. Perjanjian perdamaian itu masih ada untuk anak-anak Timor Leste. Masa lalu memang tak selalu indah dikenang. Terlalu sakit untuk dikenang, terlalu berharga untuk dilupakan.
Namun jika anak-anak kita masih bisa berlari bebas dibawah rintik hujan, itu bukti bahwa harapan masa depan selalu ada. Ia menanti dengan damai. Pelangi setelah usai rinai gerimis membuat perasaanku sendu, sesendu rasa anak-anak Timor yang menderita ataupun mungkin mati selama invasi dan pendudukan negaraku tercinta Indonesia yang mukadimah UUD-nya tertulis: “bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa”. Entah berapa puluh tahun dan berapa ribu kali sebaris kata ini harus dibaca untuk bisa dimengerti.


Dili, 24 July 2005

2 comments:

Anonymous said...

Menarik. Benar, terlalu sakit untuk dikenang, terlalu sulit untuk dilupakan. Namun, maaf saja tidak cukup untuk mengobati luka walau sudah terucap kata penyesalan. Salam.

Anonymous said...

i never knew this side of the story.. this i believe what had happened to acehnese, too.

my condolence and pray for them. though i know sorry is not enough ..

-dd-