Wednesday, June 01, 2011

Domba Sabu, Gula Sabu dan Kapten Cook


Tahukah anda bahwa Kapten Cook yang terkenal itu pernah meminta bekal kepada orang Sabu, dan kalau bukan karena gula Sabu belum tentu ia selamat sampai Batavia kemudian melanjutkan sejumlah expedisi yang membuatnya terkenal itu?

Ini cerita tentang bagaimana Kapten Cook dan awak kapal Endeavor singgah di Sabu pada September 1770 dan kemungkinan asal-usul domba Sabu.

Kalau anda pernah melihat domba di Sabu [still looking for the latin name] dan membandingkannya dengan domba di pulau lain di Nusa Tenggara Timur, seperti domba dari Rote misalnya, anda akan tahu bahwa domba Sabu berbeda ciri fisiknya dari domba-domba dari daerah lain di sekitarnya. Perawakannya lebih besar, bulu-bulunya lebih lebat dan terutama ekornya lebih gempal mirip domba dari Eropa. Pernahkah anda bertanya mengapa demikian?

Secara penamaan bisa dipastikan bahwa domba di Sabu adalah ternak yang hadir kemudian dari manusia di Sabu sebab nama yang digunakan untuk domba adalah kii jawa yang secara harfiah berarti ‘kambing asing’ atau ‘kambing dari luar’. Kecendrungan untuk memberi atribut ‘asing’ kepada entitas yang baru diperkenalkan dari luar memang umum di kalangan kebudayaan timur, misalnya artibut ‘kase’ di Timor. Sehingga di Timor misalnya, anda akan mengenal nama-nama seperti bijae kase [kerbau asing] untuk sapi, fua kase [kacang asing] untuk…, pen kase [jagung], dst. Bahkan nama klan pun ada yang bernama Kase.

Kembali ke domba sabu berekor gempal, kita patut bertanya kira-kira dari manakah asal domba-domba ini. Sementara domba di Rote disebut bibi lopo/bibi lombo, mengartikulasikan nuansa keaslian asal domba-domba itu atau paling tidak memgimplisitkan kehadiran mereka yang telah cukup lama sehingga tidak diberi atribusi ‘asing’ lagi. Sebaliknya, domba di Sabu dikategorikan ‘asing’ oleh orang Sabu.

Dugaan saya akan asal-usul domba Sabu ini seakan terjawab sedikit ketika saya menemukan sebuah buku kumpulan tulisan tua berjudul: To the Spices Islands and Beyond – Travels in Eastern Indonesia, sebuah kumpulan tulisan yang dikompilasi dan diberi pengantar oleh George Miller. [Oxford, Kuala Lumpur, 1996].

Dalam buku itu terdapat sebuah tulisan menyangkut Sabu yang berjudul “Sustenance from dry, isolated Savu”[i] karya Joseph Banks, seorang botanist muda yang turut dalam pelayaran kapal Endeavor yang dinakhodai Kapten Cook. Tulisan itu sebenarnya adalah catatan harian Banks tentang pulau Sabu yang mereka singgahi pada bulan September 1770 karena kehabisan bekal.

Setelah saya melakukan pencarian lewat mesin pencari, ternyata perjalanan ini merupakan pelayaran Kapten James yang pertama yang kemudian dikenal dengan Pejalanan Perdana James Cook (1768-1771) [lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/First_voyage_of_James_Cook]. Memang dalam banyak literature tentang perjalanan itu lebih sering disebut Batavia sebagai salah satu tempat singgah dan Sabu sering dilupakan, -mungkin karena dianggap kecil signifikansi sejarahnya- namun fakta sejarah menyatakan bahwa Endeavor pernah singgah di Sabu karena lasan hidup dan mati: mencari perbekalan.

Dalam pencarian saya selanjutnya saya menemukan bahwa ternyata Banks dan Kapten Cook mempunyai catatan khusus dan lumayan lengkap tentang pulau Sabu. Catatan-catatan Banks itu bisa anda baca di link wikipedia berikut ini: [http://en.wikisource.org/wiki/The_Endeavour_Journal_of_Sir_Joseph_Banks/September_1770] atau di

[http://en.wikisource.org/wiki/The_Endeavour_Journal_of_Sir_Joseph_Banks/Accounts_of_Savu_and_islands_near_Savu]

Joseph Bank yang saat itu baru berusia 27 tahun kemudian menjadi terkenal dan lama menjabat sebagai President of the Royal Society dan pejabat Inggris di Australia. [lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Joseph_Banks]

Namanya bahkan diabadikan sebagai nama sebuah jenis tanaman bunga yang disebut banksia. [lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Banksia]. Dia pulalah yang memperkenalkan acasia, eucalyptus dan putri malu ke Eropa.

Sebagai bontanist, Banks punya perhatian khusus terhadap tetumbuhan dan binatang namun catatannya selama di Sabu memberikan detail dan deskripsi yang akurat tentang situasi ekonomi, sosial dan politik di Sabu pada saat itu.

Baik Cook maupun Banks begitu terpesona dengan keindahan Sabu, terutama detail dari pulau itu yang jarang diperhatikan oleh pengamat yang lain. Kesan ini sangat luar biasa mengingat bahwa mereka tiba di sana pada akhir dari musim kemarau yang panjang.

Banks juga menyebutkan kehadiran seorang Eropa sebelum mereka yaitu Johan Christopr Lange, yang ia sebut sebagai “satu-satunya orang kulit putih yang tinggal di pulau itu”. Banks menyebutkan bahwa Portugislah yang pertama datang ke Sabu namun mereka lebih sering hanya mengirimkan kapal-kapal kecil untuk berdagang dengan pribumi,dan tidak menetap di Sabu. Mereka lebih sering menipu orang Sabu daripada berdagang secara fair dengan mereka.

Belanda kemudian menggantikan Portugis dan Banks menyebut bahwa sekitar sepuluh tahun sebelum kedatangan Endeavor di Sabu, sebuah perjanjian aliansi telah ditandatangani oleh lima orang raja Sabu dan VOC. Konsekwensinya adalah VOC mensuplay raja-raja ini dengan linen dan sutra, peralatan makan, dan segala benda-benda yang mereka inginkan. Semuanya disajikan dalam bentuk hadiah yang dilengkapi dengan guci-guci dan rak-rak minuman keras.

Sebagai balasannya para raja-raja ini hanya melakukan perdagangan dengan VOC. Setiap tahun mensuply beras, jagung, dan calevanses[?] yang dikirim dengan sekoci-sekoci ke Timor. Sebagai akibat dari kesepakatan antara raja-raja Sabu dan VOC tsb, Mr Lange, seorang Portugis India yang nampaknya merupakan wakil dari Lange, dan seorang Belanda India yang bertugas sebagai kepala sekolah dijinkan tinggal di antara orang Sabu. “Mynheer Lange”, begitu sebutan Banks, adalah pejabat VOC di Sabu, yang mempunyai 50 budak berkuda yang setiap dua bulan melakukan tour ke seluruh pulau, mengunjungi para raja-raja dan mensurvei tanaman-tanaman yang mereka peruntukkan bagi VOC.

Banks juga menyebutkan bahwa dalam 3 hari kehadiran mereka di Sabu, mereka bertemu “the Radja A Madocho Lomi Djara”. Menurut James Fox, nama A Madoko Lomi Djara [Ma Doko Lomi Djara] muncul dua kali dalam geneologi kerajaan Seba, namun sangat mungkin ia adalah anak dari Djara Wadu yang menandatangi Kontrak dengan Belanda tahun 1756.

Banks menggambarkan bagaimana A Madocho menjamu mereka dengan “36 jenis makanan atau keranjang-keranjang penuh nasi dan daging babi rebus, 3 mangkuk besar penuh kuah/kaldu daging yang disajikan di atas tikar.”

Mereka dipersilahkan membasuh tangan dalam basket water [haik] yang dipikul seseorang kemudian duduk dalam bentuk linkaran dan makan. Banks menyatakan bahwa kebiasaan di Sabu, yang menjamu makanan tidak akan makan bersama-sama dengan yang dijamu namun jika dicurigai bahwa makanan tersebut telah diracuni maka yang menjamu akan makan terlebih dahulu.

“Kami tidak mencurigai apapun” kata Banks, lalu mereka duduk dan makan dengan lahapnya dan perdana mentri dan Mr Lange pun makan bersama mereka. Anggur yang dibawa orang-orang Inggris pun diedarkan namun sang raja pun menolak minum bersama mereka dengan mengatakan bahwa tuan pesta tak boleh mabuk bersama tamu-tamunya. Mereka makan dengan lahapnya hingga yang tersisa cuma remah-remah yang tak menimbulkan selera lagi.

Banks secara khusus tertarik kepada lontar yang ia sebutkan sebagai penyedia makanan pokok bagi orang Sabu dan untuk dipertukarkan. Banks menyebut lontar dengan nama latin borassus flabellifer namun sekarang disebut sebagai borassus sundaicus.

Antroplog James Fox, di kemudian hari menyebutkan bahwa tanpa catatan dari Banks dan Cook ini, pengetahuan akan Sabu akan sangat sedikit dan terbatas selama hampir seabad setelahnya. [lihat James J. Fox, Harvest of the Palm: ecological change in Eastern Indonesia, Harvard University Press, Cambridge, Mass, 1977. P. 126].

Para awak Endeavor berhasil mendapatkan bekal baru di Sabu dan ketika mereka bertolak ke Batavia mereka membawa bekal berupa sembilan ekor kerbau, enam ekor domba, tiga ekor babi, tiga puluh lusin ayam, beberapa buah limau, beberapa buah kelapa, lusinan telur, sedikit bawang dan ratusan gallon ‘palm syrup’. Bank menyebut bekal itu “cukup untuk membawa kami ke Batavia” dan bahkan syrop itu bahkan bisa untuk jangka waktu yang lebih lama lagi.

Yang menarik adalah sebuah bagian dalam jurnal Banks yang menyatakan bahwa Raja Madocho Lomi Djara meminta seekor domba Inggris yang katanya tinggal satu-satunya dan domba itu diberikan kepada sang raja:

“..The king express a desire of having an English sheep, we had one left which was presented to him. An English dog was the asked for and my greyhound presented to him. Mynheer Lange then hinted that a spying glass would be acceptable and was immediately presented with one.”

Dari sini kita tahu bahwa seekor domba dari Inggris dan seekor anjing greyhound jelas pernah ada di Sabu sejak bulan September 1770. Bukan tak mungkin domba terakhir di kapal Endeavor yang dihadiahkan kepada Raja Madocho Lomi Djara itu kemudian dikawinkan dengan domba yang sudah ada di Sabu dan hasilnya adalah domba Sabu sekarang yang berekor gempal dan berbulu lebih lebat dari domba-domba yang ada di Rote atau di Timor.

Di Sabu sendiri sudah ada domba, sebegaimana disebutkan dalam catatan Banks bahwa mereka mendapat bekal enam ekor domba lagi, namun kenyataan bahwa sang raja tertarik dengan domba Inggris ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lain yang pada domba itu. Mungkin saja domba itu kemudian dikawinkan dengan domba Sabu yang lain yang keturunannya bisa kita lihat sekarang. Mungkin saja. [***]

Photo Caption: Rumah di Sabu pada saat kedatangan Endeavor. Gambar ini dibuat oleh Sydney Parkinson, juru gambar Joseph Banks, yang sekarang merupakan koleksi dari British Library.Gambar ini juga dipakai James Fox dalam bukunya Harvest of the Palm. Fox mengkritik ketidakakuratan penggambaran di mana orang memanjat lontar dengan memikul haik di pundak yang menurutnya tak mungkin terjadi. Biasanya orang membawa haik tapi diikat di pinggang.

No comments: