Thursday, June 02, 2011

Mi'raj Yesus dan murid-murid yang ternganga

Saat mi'raj-nya Yesus, murid-murid menyaksikan. [Kisah Para Rasul 1. 9]. Ketika mereka sedang menatap ke langit kosong itu, mungkin masih belum bisa mengerti apa yang terjadi, ada dua messengers [bukan dari yahoo bukan juga juga dari yang lain] berdiri di dekat mereka dan berkata: "Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke sorga." [ayat 10-11]

Kalau dibahasakan dalam bahasa Kupang, begini kira-kira perkataan kedua massenger berpakaian putih-putih itui:"We ba'i ngao dari Galilea dong, kanapa ko bosong badiri tanganga pi langit sa?! Itu Yesus yang naik pi langit itu nanti turun juga sama ke bosong liat sang dia naik."

Hei orang-orang yang mengaku pengikut Yesus, masih bingung ko? jangan 'tanganga' talalu lama. Atau masih mau menunggu panggilan angkat senjata dukung mesias-mesias baru yang muncul untuk lawan 'Roma' seperti yang ditanyakan murid-murid beberapa saat sebelumnya? [ayat 6]
This is no time to stand and stare. It was time for us to recognize that one day He would return in the same way as they had seen Him go (personally), and that He would then expect them/us to have completed the task that He had given. He would come personally to call them/us to account and He would not want to come and find them/us either sleeping or staring upwards. God’s prime concern was now that they take out to all the world their witness about Him.

Selamat memperingati kenaikan 'Yesus itu'...

Wednesday, June 01, 2011

Tak kutahu kan hari esok

Minggu lalu saya terlambat ke gereja.
Khotbah hampir berakhir ketika saya mulai masuk aula basketball di sebuah sekolah Kristen di BSD di mana kami menggunakannya sebagai tempat ibadah.

Tentu saja saya tidak tahu lagi dari mana dan kemana thema khotbah hari itu. Liturgi kebaktianpun tidak saya pegang jadi saya hanya mengikuti saja apa yang dilakukan orang lain. [mungkin anda ingat salah satu film Mr. Bean, tapi saya tidak seusil comedian itu].

Namun ada satu lagu di akhir kebaktian yang mengusik saya. Saya familiar dengan solmisasinya namun tidak menghafal liriknya. Bisa ditebak, saya pasti hanya lancar menyanyikan pada bagian reffrainnya, seperti Mr. Bean. Sehabis kebaktian saya mencari liturgi yang ditinggalkan jemaat lain di kursi-kursi untuk melihat lagu itu. Tenyata Nyanyian Kidung Baru No. 49 “Tuhan Yang Pegang”.

Saya terus menyinkan lagu itu sepanjang jalan ke rumah dan hampir sepanjang hari minggu itu. Di status facebook saya pun saya tuliskan beberapa penggal syair lagu itu. Sesampai di rumah saya membuka buku Nyanyian Kidung Baru dan mencari tahu isinya. Di buku nyanyian itu tertulis bahwa lirik dan syair asli lagu itu di tulis oleh Ira F. Stanphill (1914- ) dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia oleh K.P. Nugroho (1928-1994). Perhatikan bahwa NKB sengaja mengosongkan tahun kematian Stanphill, mungkin penerbitnya bahkan tidak tahu apakah Stanphill masih hidup atau sudah meninggal.

Browsing di internet menunjukkan bahwa lagu yang berjudul asli "I Know Who Holds Tomorrow"  itu pernah dinyanyikan oleh beberapa penyanyi modern seperti Leann Rimes, Alison Krauss, dan Kelly Price. Dari pencarian di internet saya kemudian tahu bahwa lagu yang sama juga ada dalam Pelengkap Kidung Jemaat (PKJ) 241 namun diberi judul “Tak Kutahu kan Hari esok”.

Tapi siapakah Ira F. Stanphill?

Di Wikipedia disebutkan bahwa Ira Forest Stanphill (14 February 1914-30 December 1993) adalah seorang penulis lagu American gospel terkenal . Sumber lain menyebutkan ia telah menulis lebih dari 600 lagu dan 400 diantaranya telah diterbitkan dalam buku-buku nyanyian.

Ia lahir di Belleview, New Mexico. Pada usia 10 tahun, Stanphill sudah menjadi musisi berpengaruh yang mahir memainkan piano, organ, ukulele dan accordion. Pada usia 17 tahun ia telah menuliskan lagu-lagunya sendiri dan mementaskannya untuk pelayanan gereja, kebangunan-kebangunan rohani dan pertemuan-pertemuan doa.

Stanphill mengenyam pendidikan di Junior College di Chillocothe, Missouri dan kemudian ia menerima PhD honorary dari Hyles-Anderson College di Hammond, Indiana.

Sebagai penyanyi lagu-lagu evangelis, Stanphill banyak melakukan perjalanan di US dan Canada dan telah mengelilingi lebih dari 40 negara di dunia sepanjang karirnya untuk mengajar dan mementaskan musiknya. Banyak penyanyi terkenal menyanyikan lagu-lagunya yang kemudian mendapat pujian dan tetap terkenal sampai saat ini seperti Elvis Presley yang menyanyikan “Mansion Over the Hilltop” dan Johnny Cash yang menyanyikan “Suppertime”. Lagu-lagu lainnya yang tetap dikenal sampai saat ini dan masih tetap dinyanyikan antara lain: "I Know Who Holds Tomorrow", "I Walk with His Hand in Mine", and "We'll Talk It Over". Salah satu versi  "I Know Who Holds Tomorrow" yang saya sukai adalah yang dinyanyikan Lynda Randle seperti berikut ini:



Stanphill meninggal kurang dari dua bulan sebelum ulang tahunnya yang ke 80 di Overland Park, Kansas dan dimakamkan di County Memorial Gardens, Johnson County, Kansas.

Syair asli dari lagu “I know Who Holds Tomorrow” ternyata sangatlah menyentuh. Ternjemahannya juga bagus, namun mungkin karena persoalan tehnis solmisasi syairnya tidak bisa diterjemahkan secara lurus saja tanpa improvisasi.

Berikut ini adalah terjemahan saya atas lagu ini. Saya berusaha menerjemahkan agak bebas tetapi tidak sebebas yang diterjemahkan dengan memikirkan teknis solmisasi.

Tak ku tahu kan hari esok
Aku hanya hidup dari hari ke hari
[tapi] aku tak pernah meminjam dari sinar mentari
Karena langitnya bisa saja menjadi gelap.
Tak ku kuatir akan masa depan
Karena kutahu yang Yesus katakan
Dan hari ini aku akan berjalan bersamaNya
Karena Ia tahu yang terbentang di depan

Banyak hal tentang hari esok
yang tak kutahu
Tapi kutahu siapa yang memegang hari esok
Dan kutahu siapa yang memegang tanganku

Setiap langkahku menjadi lebih terang
Ke tangga keemasan aku melangkah
Setiap beban menjadi ringan
Setiap mendung menjadi berkilauan.
Di sanalah matahari selalu bersinar,
Takkan ada tangis di mataku;
Di sanalah di ujung pelangi
Di mana gunung-gunung menyentuh langit


Tak kutahu kan hari esok
Mungkin ku kan ditimpa kekurangan.
Tapi Ia yang memberi makan burung pipit
Ia jualah yang berdiri di sampingku.
Tapak-tapak yang menjadi bagianku
Mungkin saja melewati api dan banjir
Tapi Ia ada di sana sebelum aku
Dan kudiselimuti oleh darahNya…

Dan inilah syair aslinya:

I don't know about tomorrow;
I just live from day to day.
I don't borrow from its sunshine
For its skies may turn to grey.
I don't worry o'er the future,
For I know what Jesus said.
And today I'll walk beside Him,
For He knows what lies ahead.

Many things about tomorrow
I don't seem to understand
But I know who holds tomorrow
And I know who holds my hand.

Every step is getting brighter
As the golden stairs I climb;
Every burden's getting lighter,
Every cloud is silver-lined.
There the sun is always shining,
There no tear will dim the eye;
At the ending of the rainbow
Where the mountains touch the sky.

I don't know about tomorrow;
It may bring me poverty.
But the one who feeds the sparrow,
Is the one who stands by me.
And the path that is my portion
May be through the flame or flood;
But His presence goes before me
And I'm covered with His blood.

-- Awal Maret 2011

Mengapa Orang Menjadi Fundamentalis? [revised]


Kata 'fundamentalisme' aslinya digunakan untuk sebuah trend khusus dalam Protestantisme Amerika yang di dalam berhadapan dengan segala adaptasi-adaptasi modern dan liberal dari gereja, mencoba kembali ke dasar-dasar (fundamentals) alkitabiah dari iman Kristen:yaitu kepada dasar-dasar iman yang diinterpretasikan dalam cara yang sangat lepas atau sewenang-wenang.

Dalam perkembangan selanjutnya, sympton fundamentalis ini dan perkembangan -perkembangan yang mirip-mirip seperti gerakan di dalam Protestantisme ini kemudian dapat ditemukan juga di dalam gereja Katholik dan Ortodox Timur. Kemudian kata ini juga telah ditransfer ke dalam kecendrungan-kecendrungan reaksioner dalam Islam dan Yudaisme.

Menurut theolog Protestant dan Katholik asal Jerman, Jurgen Moltman dan Hans Kung, meluasnya fundamentalisme dalam berbagai agama ini menjadi alasan yang cukup untuk melihat dimensi ekumenikal dari masalah ini secara lebih serius dan mendalam. (Moltman dan Kung, Fundamentalism as an Ecumenical Challenge,SCM London, 1992, hl.vii, 106-115).

Fundamentalisme bisa dipandang dari berbagai segi: theologis, psikologi sosial, psikiatrik, sosial. Fundamentalisme dalam setiap agama juga punya karakterisitik tersendiri sesuai dengan perkembangan sejarah dan unsur-unsur yang mempertautkannya. Fundamentalisme Kristen protestan tidak bisa dibahas sama dengan fundamentalisme katholik,Islam atau Yahudi.

Yang menarik adalah bahwa dari segi psikologi sosial fundamentalisme dilihat sebagai konsekwensi dari alienasi atau keterasingan [C.Jaggi and D Krieger, Fundamentalism: A Phenomenon of the Present, Zurich, 1991]. Buku ini membicarakan antara yang dimaksudkan dengan alienasi adalah 'isolasi personal', 'marjinalisasi sosial', 'kehilangan akar etis dan kultural' atau bahkan secara lebih umum kehilangan keberlanjutan historis.


Pengalaman-pengalaman ini kemudian bertemu atau bertabrakan dengan hasrat akan kepastian, dengan hasrat akan kebenaran 'yang sejati', dengan hasrat akan gambaran yang lebih stabil tentang dunia. Dengan hasrat-hasrat ini orang merindukan figur-figur pemimpin yang mengetahui jalan yang benar dan dengan demikian mempunyai hak penuh untuk memerintahkan penolakan total.

Jadi fundamentalisme dimengerti sebagai usaha untuk mengatasi sebuah kegelisahan existensial yang mendalam dan sebuah "kekuatiran akan konflik". Di sini kategori psikologis sperti "regresi" atau konseptualitas 'Ego/Superego' nya kaum Freudian berlaku.

Jika kita ingin melihat fundamentalisme secara lebih kritis, kita tidak bisa menghindar untuk menekankan pentingnya dasar-dasar untuk kehidupan manusia. Kita membutuhkan dasar-dasar untuk bisa hidup secara lebih kreatif. Tanpa keamanan dan perlindungan dari orang tua dan rumah, perkembangan yang sehat dari emosi-emosi dan kapasitas kita menjadi terhambat. Kekuatan fisik, intelektual dan emosional kita didasarkan pada dasar-dasar cinta, perhatian dan kepercayaan (trust).

Hal ini juga berlaku dalam sebuah pengertian yang lebih trans-personal. Komunitas-komunitas, klan-klan dan masyarakat membutuhkan sejarah mereka - dalam hal ini tradisi-tradisi, ritus, pemujaan-pemujaan,- agar dapat exist secara lebih creative dan lebih kondisi yang lebih berimbang dan untuk melihat ke masa depan.

Ada satu dimensi yang lebih jauh yaitu kemampuan atau kepercayaan diri manusia untuk berhadapan dengan ketidakekalan dunia. Ada sebuah peribahasa China berbunyi: "negara dan pemerintahan datang dan pergi tetapi gunung-gunung tetap". Ini adalah sebuah expresi keyakinan akan stabilitas bumi dan waktu. Ekspresi ini juga terdapat dalam Kitab Kejadian 8: 22 : "Selama bumi masih ada, takkan berhenti-henti musim menabur dan menuai, dingin dan panas, kemarau dan hujan, siang dan malam".

Keyakinan mendasar ini adalah cara paling alami darai manusia untuk berhadapan dengan masalah yang paling menggelisahkan dari keberadaan manusia, yaitu kematian.

Hidup yang kreatif dalam segala bentuknya dikembangkan di atas dasar keyakinan akan bumi dan waktu ini. Kreatifitas adalah identitas dalam transisi, sebuah pemberian masa lalu dan transfomasinya ke dalam sesuatu yang baru. Masyarakat-masyarakat, kebudayaan-kebudayaan dan agama-agama dan singkatnya semua sistem yang hidup, menunjukkan kehidupan mereka dengan cara memampukan diri untuk penerimaan dan transformasi ini.

Tapi apa jadinya jika kepercayaan fundamental terhadap bumi dan waktu menjadi hilang? Apa jadinya jika sebuah proses traumatik mengaburkan penerimaan kreatif akan masa lalu dan menghalangi transformasi atas apa yang telah diwarisi ke dalam sebuah masa depan yang terbuka?

Bilamana kehancuran dalam penerimaan dan transformasi terjadi, di mana seakan 'dunia telah berakhir' tanpa ada tatanan baru yang muncul -maka reaksi-reaksi fundamentalisme akan bermunculan. Dengan demikian kita memahami fundamentalisme sebagai sebuah reaksi pathologis terhadap pengalaman berakhirnya dunia.

Butuh contoh?

Fundamentalisme Islam di Indonesia adalah contoh yang bagus untuk dibahas dalam kerangka psikologi sosial di atas.

Kita ambil saja contoh FPI atau kelompok-kelompok fundamentalisme Islam yang seakan telah menjadi polisi moral dan mau memaksakan segala aturan menurut ukuran mereka di negara ini. Coba teliti ke dalam organisais mereka, anda akan mendapatkan hard core mereka sebagai orang-orang yang gelisah akan masa depan tetapi sekaligus tidak bisa melihat keberlajutan masa lalu mereka ke masa sekarang. Di alam bawah sadar mereka, mereka merasa Islam sudah gagal, nilai-nilai Islam sedang diserbu oleh nilai modern dan Barat yang mereka anggap kafir sementara mereka tidak bisa menawarkan nilai-nilai Islam untuk diterima secara sukarela oleh semua orang bahkan oleh orang Islam sendiri.Ini konflik yang luar biasa, dan reaksi mereka adalah adalah berusaha menghilangkan konflik itu.

Itulah jawabannya mengapa mereka begitu aggresive dalam tindakan mereka, dan memaksakan nilai-nilai mereka sendiri. Itu jugalah mengapa mereka membentengi diri mereka dengan cara-cara yang artifisial seperti pakaian dan aturan-aturan.

Kalau dilihat komposisi FPI di Jakarta misalnya, kebanyakan adalah kelas bawah dan sedikit kelas menengah. Ada juga sejumlah kalangan atas tapi biasanya special case. Apa artinya ini? artinya memang kelompok inilah yang paling dipinggirkan dalam semua proses modernisasi dan pembangunan yang timpang. Itu jugalah yang menjawab pertanyaan mengapa kelompok fundamentalis ini umumnya muncul dan berkembang pesat di daerah perkotaan. Karena memang isolasi personal, marjinalisasi sosial, kehilangan akar-akar etis dan kultural itu lebih dirasakan dan nampak diperkotaan atau bahkan lebih sering terjadi di perkotaan. Itu juga menjawab pertanyaan mengapa figur prominen dalam FPI adalah Arab [kehilangan ke-Arab-an nya setelah sekian lama di Indonesia], Betawi [mearasa pemilik Jakarta tetapi termajinalisasi dari pembangunan dan modernisasi Jakarta; jadi ingat "Si Doel Anak sekolahan"], preman, tukang parkir, pengangguran dsb.

Tentu ada variabel-variabel lain yang kait mengait dalam menciptakan atau membuat orang menjadi begitu fundamentalis seperti pendidikan, indoktrinasi agama, kekecewaan akan tatanan sosial yang tidak adil dsb. Itu sebabnya tidak semua preman, tukang parkir, penggangguran, Betawi, Arab di Jakarta adalah fundamentalis. Tetapi pada dasarnya fundamentalisme muncul dari perasaan keterasingan dan alienasi, terputusnya akar-akar historis dan ketidakpastian masa depan. Ini lahan yang paling subur untuk para opportunis untuk menyuburkan fundamentalisme.

Orang-orang ini -para fundamentalis - sebenarnya adalah orang-orang yang rindu akan kepastian karean hidup mereka sendiri dipenuhi dengan ketidakpastian. Ada satu dua (mungkin die hard-nya) adalah orang-orang yang punya hasrat untuk 'kebenaran sejati'. Dan biasanya orang-orang ini akan berbalik 360 derajat kalau mereka menemukan apa yang mereka yakini sebagai kebenaran yang bertentangan dengan apa yang mereka pegang sekarang. Orang-orang seperti ini biasanya akan membelakangi atau bahkan melawan orang-orang dan organisasi mereka sendiri. Dalam sejarah salah satu contoh orang seperti ini adalah Rasul Paulus. Dia bukan orang jahat pada dasarnya, dia hanya rang yang ingin menegakkan apa yang dia anggap benar tanpa pengetahuan akann sisi lain dari kebenaran. Dan karena iru begitu ia melihat sisi lain, ia berpaling. Contoh lain dalam sejarah gereja di Indonesia adalah KAM Jusuf Roni yang mirip Paulus juga sngat membencio Kristen tapi kemudian berbalik menjadi Kristen.

Karena perasaan ketidakpastian yang mendalam, orang-orang ini juga sangat mengaungkan figur pemimpin yang kuat dan mereka anggap punya klaim kebenaran. Itu sebabnya mereka tak akan melihat sisi buruk dari apa yang dilakukan pemimpin mereka. Mereka akan menjustifikasi apapun yang dilakukannya dalam kerangka pengetahuan kebenaran yang mereka miliki. Mereka akan sangat gampang memaki, menuduh dan menyalahkan orang lain yang menghalangi jalan mereka untuk memaksakan nilai-nilai mereka.

Sebagai bagian dari masayarakat yang teralienasi, prasangka sosial mereka juga sangat tinggi. Tetapi biasanya unsur agamanya lebih menonjol. Itulah sebabnya mengapa FPI dan kelompok-kelompok fundamentalis selalu menciptakan musuh bersama; kalau bukan Amerika, pasti Barat, atau Kristen atau China .

(to be continued)

Photo Caption:“Live respected or die as a martyr” reads the red-letter motto on the hoods of Front Pembela Islam members. Each year these self-appointed enforcers rally in Jakarta neighborhoods before and during the holy month of Ramadan, intimidating “purveyors of vice” such as bar owners and prostitutes. Last year their leader was jailed for inciting violence.
©2009 James Nachtwey/National Geographic

Domba Sabu, Gula Sabu dan Kapten Cook


Tahukah anda bahwa Kapten Cook yang terkenal itu pernah meminta bekal kepada orang Sabu, dan kalau bukan karena gula Sabu belum tentu ia selamat sampai Batavia kemudian melanjutkan sejumlah expedisi yang membuatnya terkenal itu?

Ini cerita tentang bagaimana Kapten Cook dan awak kapal Endeavor singgah di Sabu pada September 1770 dan kemungkinan asal-usul domba Sabu.

Kalau anda pernah melihat domba di Sabu [still looking for the latin name] dan membandingkannya dengan domba di pulau lain di Nusa Tenggara Timur, seperti domba dari Rote misalnya, anda akan tahu bahwa domba Sabu berbeda ciri fisiknya dari domba-domba dari daerah lain di sekitarnya. Perawakannya lebih besar, bulu-bulunya lebih lebat dan terutama ekornya lebih gempal mirip domba dari Eropa. Pernahkah anda bertanya mengapa demikian?

Secara penamaan bisa dipastikan bahwa domba di Sabu adalah ternak yang hadir kemudian dari manusia di Sabu sebab nama yang digunakan untuk domba adalah kii jawa yang secara harfiah berarti ‘kambing asing’ atau ‘kambing dari luar’. Kecendrungan untuk memberi atribut ‘asing’ kepada entitas yang baru diperkenalkan dari luar memang umum di kalangan kebudayaan timur, misalnya artibut ‘kase’ di Timor. Sehingga di Timor misalnya, anda akan mengenal nama-nama seperti bijae kase [kerbau asing] untuk sapi, fua kase [kacang asing] untuk…, pen kase [jagung], dst. Bahkan nama klan pun ada yang bernama Kase.

Kembali ke domba sabu berekor gempal, kita patut bertanya kira-kira dari manakah asal domba-domba ini. Sementara domba di Rote disebut bibi lopo/bibi lombo, mengartikulasikan nuansa keaslian asal domba-domba itu atau paling tidak memgimplisitkan kehadiran mereka yang telah cukup lama sehingga tidak diberi atribusi ‘asing’ lagi. Sebaliknya, domba di Sabu dikategorikan ‘asing’ oleh orang Sabu.

Dugaan saya akan asal-usul domba Sabu ini seakan terjawab sedikit ketika saya menemukan sebuah buku kumpulan tulisan tua berjudul: To the Spices Islands and Beyond – Travels in Eastern Indonesia, sebuah kumpulan tulisan yang dikompilasi dan diberi pengantar oleh George Miller. [Oxford, Kuala Lumpur, 1996].

Dalam buku itu terdapat sebuah tulisan menyangkut Sabu yang berjudul “Sustenance from dry, isolated Savu”[i] karya Joseph Banks, seorang botanist muda yang turut dalam pelayaran kapal Endeavor yang dinakhodai Kapten Cook. Tulisan itu sebenarnya adalah catatan harian Banks tentang pulau Sabu yang mereka singgahi pada bulan September 1770 karena kehabisan bekal.

Setelah saya melakukan pencarian lewat mesin pencari, ternyata perjalanan ini merupakan pelayaran Kapten James yang pertama yang kemudian dikenal dengan Pejalanan Perdana James Cook (1768-1771) [lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/First_voyage_of_James_Cook]. Memang dalam banyak literature tentang perjalanan itu lebih sering disebut Batavia sebagai salah satu tempat singgah dan Sabu sering dilupakan, -mungkin karena dianggap kecil signifikansi sejarahnya- namun fakta sejarah menyatakan bahwa Endeavor pernah singgah di Sabu karena lasan hidup dan mati: mencari perbekalan.

Dalam pencarian saya selanjutnya saya menemukan bahwa ternyata Banks dan Kapten Cook mempunyai catatan khusus dan lumayan lengkap tentang pulau Sabu. Catatan-catatan Banks itu bisa anda baca di link wikipedia berikut ini: [http://en.wikisource.org/wiki/The_Endeavour_Journal_of_Sir_Joseph_Banks/September_1770] atau di

[http://en.wikisource.org/wiki/The_Endeavour_Journal_of_Sir_Joseph_Banks/Accounts_of_Savu_and_islands_near_Savu]

Joseph Bank yang saat itu baru berusia 27 tahun kemudian menjadi terkenal dan lama menjabat sebagai President of the Royal Society dan pejabat Inggris di Australia. [lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Joseph_Banks]

Namanya bahkan diabadikan sebagai nama sebuah jenis tanaman bunga yang disebut banksia. [lihat: http://en.wikipedia.org/wiki/Banksia]. Dia pulalah yang memperkenalkan acasia, eucalyptus dan putri malu ke Eropa.

Sebagai bontanist, Banks punya perhatian khusus terhadap tetumbuhan dan binatang namun catatannya selama di Sabu memberikan detail dan deskripsi yang akurat tentang situasi ekonomi, sosial dan politik di Sabu pada saat itu.

Baik Cook maupun Banks begitu terpesona dengan keindahan Sabu, terutama detail dari pulau itu yang jarang diperhatikan oleh pengamat yang lain. Kesan ini sangat luar biasa mengingat bahwa mereka tiba di sana pada akhir dari musim kemarau yang panjang.

Banks juga menyebutkan kehadiran seorang Eropa sebelum mereka yaitu Johan Christopr Lange, yang ia sebut sebagai “satu-satunya orang kulit putih yang tinggal di pulau itu”. Banks menyebutkan bahwa Portugislah yang pertama datang ke Sabu namun mereka lebih sering hanya mengirimkan kapal-kapal kecil untuk berdagang dengan pribumi,dan tidak menetap di Sabu. Mereka lebih sering menipu orang Sabu daripada berdagang secara fair dengan mereka.

Belanda kemudian menggantikan Portugis dan Banks menyebut bahwa sekitar sepuluh tahun sebelum kedatangan Endeavor di Sabu, sebuah perjanjian aliansi telah ditandatangani oleh lima orang raja Sabu dan VOC. Konsekwensinya adalah VOC mensuplay raja-raja ini dengan linen dan sutra, peralatan makan, dan segala benda-benda yang mereka inginkan. Semuanya disajikan dalam bentuk hadiah yang dilengkapi dengan guci-guci dan rak-rak minuman keras.

Sebagai balasannya para raja-raja ini hanya melakukan perdagangan dengan VOC. Setiap tahun mensuply beras, jagung, dan calevanses[?] yang dikirim dengan sekoci-sekoci ke Timor. Sebagai akibat dari kesepakatan antara raja-raja Sabu dan VOC tsb, Mr Lange, seorang Portugis India yang nampaknya merupakan wakil dari Lange, dan seorang Belanda India yang bertugas sebagai kepala sekolah dijinkan tinggal di antara orang Sabu. “Mynheer Lange”, begitu sebutan Banks, adalah pejabat VOC di Sabu, yang mempunyai 50 budak berkuda yang setiap dua bulan melakukan tour ke seluruh pulau, mengunjungi para raja-raja dan mensurvei tanaman-tanaman yang mereka peruntukkan bagi VOC.

Banks juga menyebutkan bahwa dalam 3 hari kehadiran mereka di Sabu, mereka bertemu “the Radja A Madocho Lomi Djara”. Menurut James Fox, nama A Madoko Lomi Djara [Ma Doko Lomi Djara] muncul dua kali dalam geneologi kerajaan Seba, namun sangat mungkin ia adalah anak dari Djara Wadu yang menandatangi Kontrak dengan Belanda tahun 1756.

Banks menggambarkan bagaimana A Madocho menjamu mereka dengan “36 jenis makanan atau keranjang-keranjang penuh nasi dan daging babi rebus, 3 mangkuk besar penuh kuah/kaldu daging yang disajikan di atas tikar.”

Mereka dipersilahkan membasuh tangan dalam basket water [haik] yang dipikul seseorang kemudian duduk dalam bentuk linkaran dan makan. Banks menyatakan bahwa kebiasaan di Sabu, yang menjamu makanan tidak akan makan bersama-sama dengan yang dijamu namun jika dicurigai bahwa makanan tersebut telah diracuni maka yang menjamu akan makan terlebih dahulu.

“Kami tidak mencurigai apapun” kata Banks, lalu mereka duduk dan makan dengan lahapnya dan perdana mentri dan Mr Lange pun makan bersama mereka. Anggur yang dibawa orang-orang Inggris pun diedarkan namun sang raja pun menolak minum bersama mereka dengan mengatakan bahwa tuan pesta tak boleh mabuk bersama tamu-tamunya. Mereka makan dengan lahapnya hingga yang tersisa cuma remah-remah yang tak menimbulkan selera lagi.

Banks secara khusus tertarik kepada lontar yang ia sebutkan sebagai penyedia makanan pokok bagi orang Sabu dan untuk dipertukarkan. Banks menyebut lontar dengan nama latin borassus flabellifer namun sekarang disebut sebagai borassus sundaicus.

Antroplog James Fox, di kemudian hari menyebutkan bahwa tanpa catatan dari Banks dan Cook ini, pengetahuan akan Sabu akan sangat sedikit dan terbatas selama hampir seabad setelahnya. [lihat James J. Fox, Harvest of the Palm: ecological change in Eastern Indonesia, Harvard University Press, Cambridge, Mass, 1977. P. 126].

Para awak Endeavor berhasil mendapatkan bekal baru di Sabu dan ketika mereka bertolak ke Batavia mereka membawa bekal berupa sembilan ekor kerbau, enam ekor domba, tiga ekor babi, tiga puluh lusin ayam, beberapa buah limau, beberapa buah kelapa, lusinan telur, sedikit bawang dan ratusan gallon ‘palm syrup’. Bank menyebut bekal itu “cukup untuk membawa kami ke Batavia” dan bahkan syrop itu bahkan bisa untuk jangka waktu yang lebih lama lagi.

Yang menarik adalah sebuah bagian dalam jurnal Banks yang menyatakan bahwa Raja Madocho Lomi Djara meminta seekor domba Inggris yang katanya tinggal satu-satunya dan domba itu diberikan kepada sang raja:

“..The king express a desire of having an English sheep, we had one left which was presented to him. An English dog was the asked for and my greyhound presented to him. Mynheer Lange then hinted that a spying glass would be acceptable and was immediately presented with one.”

Dari sini kita tahu bahwa seekor domba dari Inggris dan seekor anjing greyhound jelas pernah ada di Sabu sejak bulan September 1770. Bukan tak mungkin domba terakhir di kapal Endeavor yang dihadiahkan kepada Raja Madocho Lomi Djara itu kemudian dikawinkan dengan domba yang sudah ada di Sabu dan hasilnya adalah domba Sabu sekarang yang berekor gempal dan berbulu lebih lebat dari domba-domba yang ada di Rote atau di Timor.

Di Sabu sendiri sudah ada domba, sebegaimana disebutkan dalam catatan Banks bahwa mereka mendapat bekal enam ekor domba lagi, namun kenyataan bahwa sang raja tertarik dengan domba Inggris ini menunjukkan bahwa ada sesuatu yang lain yang pada domba itu. Mungkin saja domba itu kemudian dikawinkan dengan domba Sabu yang lain yang keturunannya bisa kita lihat sekarang. Mungkin saja. [***]

Photo Caption: Rumah di Sabu pada saat kedatangan Endeavor. Gambar ini dibuat oleh Sydney Parkinson, juru gambar Joseph Banks, yang sekarang merupakan koleksi dari British Library.Gambar ini juga dipakai James Fox dalam bukunya Harvest of the Palm. Fox mengkritik ketidakakuratan penggambaran di mana orang memanjat lontar dengan memikul haik di pundak yang menurutnya tak mungkin terjadi. Biasanya orang membawa haik tapi diikat di pinggang.

Oh Ana Lote, Oh Sarisandu




Oh Sarisandu, oh ta'e ana Lote,
Sasandu haik sedang memanggil;
Dari padang-padang di Mamaluk dan mamar-mamar di Baa Dale
Dari kebun-kebun di Daeurandale sampai sawah-sawah di Lole
Dari Faifua do Ledosu ke Delamuri do Andaiko
Di tepi-tepi Danau Tua dan di lereng-lereng Lakamola;
Di atas bukit-bukit di Nusa Diu dan di tepi pasir putih di Nemberala
Dari pohon-pohon lebah di Sotimori ke rimba Kokolok


Padi dan ladang telah pergi dan mayang-mayang lontar mulai mengering
Dan engkau engkau harus pergi dan aku harus menunggu
Namun pulanglah ketika padi-padi di ladang berbisik dan menghijau bersama rumput liar dan kawanan ternak
karena aku akan tetap di sini,
di bawah terik matahari dan di bawah rindang beringin dan lontar
Oh Sarisandu, oh ana Lote, betapa aku mencintaimu

Dan jika engkau datang ketika mayang lontar mulai mengering
Dan aku telah mati, sebagaimana layaknya aku
Datanglah ke pusara di mana aku tertidur
Duduklah dan nyanyikanlah sosodak bagiku
Karena aku akan mendengarnya
Walau lembut pijakanmu di atas tanah
Dirikanlah sebuah tutus sederhana bagiku
di mana anak-anak gembala akan duduk mendendangkan sarinade tentang tanah air:
"Lete kara tada, fo dae ramado
Nunu kara londa fo piak ramdema"

Maka semua mimpiku akan menjadi hangat dan manis
Sehangat susu mama yang melahirkan aku
semanis tua matak yang disadap ayahku
Jika engkau tak gagal mengatakan padaku bahwa kau mencintaiku
Aku akan tidur dengan damai sampai engkau datang kepadaku
Dan aku pasti tidur dengan tenang sampai engkau pulang kepadaku
Oh Ana Lote, oh Sarisandu, betapa aku mencintaimu

Ketika anak-anak gembala menggiring kawanan dombanya melintas
Aku tak mendengarnya
Ketika rombongan foti hus menggemuruh di pusaraku
Aku takkan mendengarnya
Ketika sapi-sapi benggala milik bangsawan kaya itu menjejal
Aku pun tak mendengar
Namun bila ujung selimutmu menyentuh rumput-rumput di atas pusaraku
Aku akan mendengarnya
Oh Sarisandu, oh Ana Lote, betapa aku mencintaimu

BSD Tangerang, 29 April 2011



Penjelasan istilah:

-Ana Lote/ta'e ana Lote: Anak Rote
-Sarisandu: Nama laki-laki Rote dalam mithologi Rote tetanng Sasandu
-Sasandu: alat musik tradisional Rote
-Sasandu haik: Sasandu yang wadahnya terbuat dari daun lontar.
-Faifua do Ledosou: nama lain kerajaan Ringgou, kerajaan di wilayah paling timur pulau Rote
-Delamuri do Andaiko: nama lain Kerajaan Dela, kerajaan di wilayah paling barat pulau Rote.
- Sosodak: nyanyian traditional Rote yang biasa dinyanyikan mengiringi sasandu atau mengiringi gong dan tambur.
-Tutus: tugu peringatan untuk mengenang seseorang yang meninggal
-tua mata: nira lontar yang baru disadap, untuk membedakannya dari tua nasu yaitu nira yang telah dimasak.
-Foti hus: salah satu ritus traditional yang hampir punah, bagian utama ritus ini adalah lomba pacuan kuda
-"Lete kala tada fo dae lama do, nunu kala londa fo piak lamdema" adalah penggalan syair dari lagu Au sangaa fali neu Nusa Lote [Aku ingin pulang ke nusa Rote]. Terjemahannya adalah: Bukit-bukit terpele, dan tanah menjauh; [negeri dimana] pohon-pohon beringin bergelantungan dan tebing-tebing meninggi"
Credit foto: Reynold Sumayku/National Geographic Indonesia

Ditipu kemiskinan dan ditipu kerakusan


Kalau anda berhadapan dengan kemiskinan, kemelaratan dan penderitaan serta pada saat yang sama anda juga berhadapan dengan pencari untung, kerakusan dan kapitalisme dan keduanya penipu, anda memilih ditipu oleh yang mana?

Di Jakarta, anda bisa bertemu orang miskin melebih-lebihkan penderitaanya, bersandiwara dan bahkan menipu untuk mendapatkan apa yang mereka mau.

Tetapi di Jakarta juga anda akan bertemu dengan orang kaya, perusahaan atau organisasi kaya yang melebih-lebihkan harga dari pelayanan jasa dan produknya untuk mendapatkan keuntungan besar.

Kemiskinnan dan kerakusan bisa punya trik yang mirip untuk mendapatkan apa yang mereka mau.

Hanya saja, kemiskinan melakukanya karena lapar dan menderita sedangkan kapitalisme melakukannya karena rakus dan keinginan mencari untung.


Saya akan sangat menyesal dan mungkin menangis sejadi-jadinya jika saya mengeraskan hati saya terhadap seorang ibu yang duduk bersama anaknya di pinggir jalan menandahkan tangan dan ternyata apa yang dia minta dengan memelas itu bahkan tidak cukup untuk makan dua kali. Belum lagi dia harus menyetor apa yang didapatnya kepada preman yang menguasai wilayah itu

Dan saya akan sangat marah dan mungkin memaki jika apa yang saya beli kelihatan begitu mahal di tubuh saya tetapi ternyata harganya jauh di atas kepatutan. Bahkan mungkin lebih dari sepatuh gaji pelayan yang melayani saya saat membeli

Oh Tuhan betapa kerasnya hati manusia sehingga orang harus menipu untuk mendapatkan sesuap nasi.

Ampunilah kami ya Tuhan, jikalau hidup membuat kami bagaikan majikan-majikan untuk Lazarus yang menantikan remah-remah dari meja tuannya.

Memang tidak semua orang senang jika ditipu, tetapi ditipu orang miskin kita tidak akan menjadi miskin, namun ditipu kapitalisme kita bisa menjadi semiskin-miskinnya.

Kita tak perlu menjadi kaya untuk menolong yang miskin dan menderita; bahkan kita mungkin punya penderitaan dan kemiskinan sendiri.

Kita tak perlu menjadi kaya untuk menolong yang miskin; karena yang dibutuhkan untuk kemiskinan bukan hanya harta melainkan perhatian. Orang miskin adalah orang yang kesepian dan ditinggalkan.

Karena itu seringkali hanya mereka yang datang dari periuk kemiskinan dan penderitaan yang sama yang dapat merasakan apa yang oarng miskin rasakan

*Untuk seorang ibu yang duduk bersama anaknya di jembatan penyebrangan di depan Ratu Plaza, Jalan Sudirman, Jakarta.

Serpong, 10 Mei 2011