Wednesday, December 19, 2012

Cerita Lagu Ofa Langga

Setiap orang Rote pasti mengenal lagu Ofa langga. Tapi tentang apa sebenarnya lagu itu? Sekilas dilihat dari liriknya lagu itu seakan berkisah soal suka duka orang Rote dalam pelayaran melewati selat antara pulau Timor, pulau Semau dan Pulau Rote, yaitu selat Pukuafu, atau juga sering disebut Lolok oleh sebagian orang Rote. Bahkan ada yang menyebut selat berbahaya itu sebagai "kuburan orang Rote". Namun sebenarnya lagu itu punya konteks personal dan politis yang membuatnya menarik.

Konon lagu ini berkisah tentang dilema sepasang  muda-mudi Rote di masa pendudukan Jepang. Penulis populer masyarakat Rote, Paul A Haning, menyebut konteks penciptaan lagu ini sekitar tahun 1943, dimana banyak pemuda Rote, oleh Jepang dikirim secara paksa (forced migration) ke Kupang dan beberapa tempat lain untuk kepentingan romusha. Jarak Kupang dan Rote seorang mungkin bukanlah sebuah jarak bagi bagi orang dengan kemudahan transportasi yang nama, namun Kupang dan Rote di tahun 1940-an tentu berbeda, apalagi kepergian sang pemuda bukalah untuk wisata atau mengunjungi keluarga, melainkan untuk kerja paksa bagi kepetingan balatentara Jepang.

Menurut Paul A. Haning, sebuah kapal pengangkut menunggu di Pelabuhan Pantai Baru untuk mengangkut romongan romusha ke Kupang. Para romusha datang dari berbagai wilayah di Rote. Bisa anda tebak sendiri bagaimana kisah perpisahan antara sang pemuda dan tunangannya. Dalam rombongan romusha itu ada seorang pemuda lain yang pandai menyanyi dan mencipta lagu. Kisah sepasang muda-mudi ini kemudian dituliskan dalam lagu Ofa Langga Soba-soba atau sering disingkat Ofa Langga.

Sangat menarik jika bisa kita dapatkan dokumentasi (deskripsi dan statistik) pengangkutan romusha dari Rote ke Kupang pada masa pendudukan Jepang. Ini akan memberi sedikit gambaran yang lebih jelas soal konteks lagu ini.

Dari segi syair, ada sejumlah hal yang bisa diinterpretasi. Walaupun ada berbagai versi dengan perbedaan di sana sini, saya mengutip versi yang dituliskan oleh Paul A. Haning bersama Ena Hayer Pah.

Ofa langga adinda soba-soba                  Haluan perahu mencoba-coba
Ofa langga adinda soba-soba                  Haluan perahu mencoba-coba
Soba nita adinda tasi anin                        Mencoba akan laut dan angin
Soba nita adinda tasi anin                        Mencoba akan laut dan angin
Soba sayang kasian susi ana                   Mencoba sayang, kasihan susi ana
Lu reme adinda susi matan                      Airmata menetes dari mata susi
Se tanggon pinu rembe                            Siapa yang menanggung ingus dan airmata
bu bo'i susa hati                                       Bu sayang bersusah hati


Ref: Se nae dae ki, dae ki tua meko        Konon di negeri (sebelah) utara, sebelah utara tua meko
Se nae dae kona, kola de'a Pante Baru   Konon di negeri selatan, merangkai kata, Pantai Baru
Nae lena seri tadadi lena seri                   Ingin menyebrang tak bisa menyebrang
Nae nasafali tadadi nasafali.                    Ingin berbalik tak bisa berbalik



Kata adinda yang dipakai adalah kata bahasa Melayu adinda yang sangat mungkin menunjuk kepada sang gadis. Pemakaiannya di tengah kalimat jika diterjemahkan akan mengganggu pengertian syairnya, namun harus dipahami kata ini dipakai sebagai rhima dalam lagu ini.

Kata bu adalah sebutan untuk kakak laki-laki dalam bahasa Rote yang sangat mungkin adalah pengaruh dari kata bung dalam bahasa Melayu. Sedangkan kata susi adalah sebutan untuk kakak atau saudara perempuan dalam bahasa Rote yang sangat mungkin dipengaruhi oleh kata bahasa Belanda zusje artinya saudara perempuan.

Pulau Rote adalah pulau yang membujur timur barat sehingga dae ki menunjuk kepada pantai utara Rote yang biasanya banyak digunakan sebagai jalur pelayaran ke Kupang, juga di mana sepanjang pantai utara ini terdapat sejumlah pelabuhan seperti Oelua di nusak Dengka (sekarang Kecamatan Rote Barat Laut), pelabuhan Baa di Nusak Baa (sekarang masuk ke dalam Kecamatan Lobalain), pelabuhan Pantai Baru di Nusak Korbafo (sekarang termasuk dalam kecamatan Pantai Baru), dan pelabuhan Papela di Nusak Ronggou (sekarang bagian dari kecamatan Rote Timur).

Sebaliknya, dae kona menunjuk kepada wilayah dan pantai selatan pulau Rote. Nusak Thie yang berada di bagian selatan, dikenal dengan nama lain Rene Kona yang berarti sawah (di sebelah) selatan. Jadi si pencipta lagu kemungkinan berusaha mengungkapkan luasnya dampak atau jangkauan rekruitmen untuk romusha yang meliputi berbagai nusak/kerajaan di Rote. Sang penyair juga berusaha mengambarkan dilema sepasang muda-mudi ini dengan gambaran "maju tak maju, mundur tak mundur" bagaikan kapal yang terombang ambing. Dan dalam kenyataannya sang pemuda berangkat dalam kapal serupa. Kalimat "kola de'a, Pantai Baru" menunjukkan terjadinya sebuah pembicaraan yang maju dan mundur seakan tak kunjung selesai di (pelabuhan) Pantai Baru.

Makna dan perlambangan dimainkan dengan cantik di sini. Bukan hanya hati kedua insan yang terombang ambing, tetapi sang kapal pun akan terombang ambing menghadang angin dan gelombang. Sekarang ini, dengan ada moda transportasi modern seperti ferry, jarak Kupang dan Rote hanya ditempuh dalam waktu dua sampai empat jam. Bukan jarak yang luar biasa. Juga terpaaan gelombang relatif lebih ringan jika dibanding menggunakan perahu layar. Walaupun ferry pun pernah tenggelam di selat yang bernama Pukuafu itu. Apalagi dulu, dimana perlayaran Rote-Kupang dapat ditempuh lebih dari sehari, bahkan bisa berminggu jika berhadapan dengan angin dan gelombang. Pada saat itu Kupang dan Rote bukanlah jarak yang dekat. Itulah sebabnya dalam lagu yang lain dengan judul yang sama, Fridel Eduard Lango memasukan dalam syairnya: "Kota nai kota de, Lote nai Lote de" (Kupang adalah di Kupang dan Rote adalah di Rote).

Walaupun pencipta lagu ini tidak dikenal, Paul A Haning menyatakan bahwa bagian ini sedikit mengungkapkan identitas sang penyair. Haning (dalam bukunya Sasando, alat Musik Tradisional Masyarakat Rote Ndao, 2009) menyatakan bahwa penulis lagu ini adalah orang Thie dengan mengacu kepada pengunaan kata bo'i yang menurutnya di masa lalu hanya terdapat dalam dialek Thie, walaupun kita telah dipakai dalam beberapa dialek Rote yang lain.

Bo'i dalam dialek Thie adalah bentuk pendek dari kata bonggi yang berarti beranak atau kandung. Ungkapan ini biasa dipakai untuk mengungkapkan kedekatan hubungan atau afeksi dan penghormatan kepada seseorang, dalam pengertian persaudaraan. Jika seorang Rote menyebut anda sebagai mama bo'i atau papa bo'i, tidak dimaksudkan secara harfiah bahwa anda adalah ibu kandung/ibu yang mengandung atau ayah kandungnya, melainkan ia sedang mengungkapkan afeksi dan kedekatan hubungan personal dengan anda, seakan menyatakan bahwa kasih sayangnya kepada anda adalah sama dengan kasih sayangnya kepada ayah atau ibu kandungnya sendiri.

Memang di Rote bagian timur, antara lain di Landu dan Ringgou, kata bo'i juga eksis namun mempunyai arti yang lain yaitu payudara. Jadi kesimpulan tentang identitas pencipta lagu ini bisa mendekati kebenaran jika dilihat dari penggunaan kata ini.

Sebagai lagu rakyat, lagu ini punya beberapa versi yang berkembang di masyarakat. Ada sebuah versi mempunyai judul yang sama namun berbeda dalam irama dan syair yaitu versi penyair kenamaan Rote, Fridel Eduard Lango. Versi F.E. Lango adalah sebagai berikut:

Ofa langga soba-soba
Soba nita tasi anin
Soba sayang kasian
Lu leme susi matan

Nae lena seli tadadi lena seli
Nae nasafali tadadi nasafali
Adu kasian, adu kasian mama boi ee
Rote nai Rote dei
Kota nai Kota dei
Mama boi ee, Dandi daen tou daen
Sopa oen tou oen
Lamatuak ifa au

  (bersambung)

Rumah di Nemberala, Rote

Mau bikin rumah di Kupang atau di Rote, boleh juga seperti ini....pingin punya rumah seperti ini di tepi pantai..
Rote Island Images
This photo of Rote Island is courtesy of TripAdvisor

Rote Island Pictures
This photo of Rote Island is courtesy of TripAdvisor

Sunday, December 16, 2012

“Aku seorang penjual Alkitab”: Ryan Gosling dalam Gangster Squad


Minggu lalu, saya menemukan sebuah trailer “Gangster Squad” film baru yang diperankan Sean Penn (Mickey Cohen) yang baru akan diluncurkan tahun depan. Dalam film yang dasarkan pada buku dengan judul yang sama karya Paul Lieberman, Sersan Jerry Wooters (Ryan Gosling) mengucapkan satu kalimat yang menarik. Wooters berkata “I am a Bible salesman” ketika ditanya Grace Faraday (Emma Stone) tentang apa pekerjaannya.  Saya suka jawaban itu dan kalimat itu saya posting di status facebook saya. Ternyata statemen itu menarik perhatian beberapa teman.

Film yang diinspirasi oleh kisah nyata ini, adalah kisah dua orang detektif LAPD yang berusaha membebaskan LA dari gangster di tahun 1940an and 1950an. LA waktu itu dikuasai raja bandit Mickey Cohen yang menguasai semua penghasilan dunia kejahatan mulai dari drugs, senjata, dan prostitusi. Ia tidak hanya menguasai orang-orangnya tetapi para polisi dan politisi dibawah kontrolnya. Semua orang takut, kecuali agen LAPD dipimpin oleh sersan John O'Mara (Josh Brolin) dan Jerry Wooters (Ryan Gosling), yang bersatu untuk melawan Cohen.

Film ini direncanakan untuk diluncurkan pada 7 September 7, 2012, tetapi terjadi bebeapa penundaan dan karena terjadi Aurora shooting, oleh Warner Bros. Pictures peluncurannya dimundurkan ke 11 January 2013.


Penasaran dengan asal usul statement itu, saya menelusuri dunia maya. Akhirnya saya sampai kepada sebuah novel karya Clyde Edgerton berjudul “The Bible Salesman”. Novel yang diterbitkan tahun 2008 itu menceritakan tentang Henry Dampier, pemuda berusia 20 tahun yang bergumul dengan dilema moral dan pekerjaannya.

Diceritakan bahwa saat dia sedang berkeliling menjual Alkitab yang semula ia maksudkan untuk dibagikan secara gratis, Henry bertemu seorang penipu: Preston Clearwater. Kalau Henry adalah penipu bernuansa religius dengan menjual Alkitab, Clearwater adalah penipu yang sekuler. Clearwater mengaku bahwa ia adalah seorang agen FBI padahal ia adalah anggota sindikat pencuri mobil. Ia mengaku kepada Henry bahwa sebagai agen FBI ia sedang mencoba menyusup ke jaringan pencuri mobil dan membutuhkan seorang rekan. Henry bisa menjual Alkitabnya kapan saja ketika ia tidak sedang membantu Clearwater (and FBI) mencuri mobil sebagai bagian dari aksi penyusupan, kata Clearwater.


Dalam bab-bab yang berjudul “Genesis” dan “Exodus”, dan kemudian“Revelation”, Henry bergumul dengan kesimpulan-kesimpulan theologis sementara kejahatan Clearwater, yang tidak diketahui olehnya, makin menjadi-jadi. Alkitab dan hormone adalah dua kekuatan yang luar biasa namun Henry berhasil untuk tidak memperdayai keduanya. Sebagai seorang penganut Baptist yang teguh, ia tidak menyesal menipu dalam menjual Alkitab, namun ia berat menerima inkonsistensi dalam Injil. Misalnya: Kalau Allah itu berkuasa, mengapa ia perlu beristirahat pada hari ketujuh?

Sebaiknya Clearwater adalah seorang penggoda, yang percaya bahwa dunia tak lebih hanyalah sebuah tempat bagi terjadinya sesuatu. Bahkan sebelum Henry bertemu Marleen Green, seorang gadis yang kemudian mengambil keperjakaan Henry, Clearwater telah merasionalisasi seruan Alkitab yang mengutuk sex di luar perkawinan. Jika orang seperti Abraham “si orang baik” melakukannya tanpa ganjaran, mengapa saya tidak”, kata Henry kepada dirinya kemudian.

Alegory menjadi dewasa yang sangat longgar dari Henry, dari Taman Eden milik Marleen ke konfrontasinya dengan iblis, membuatnya berhenti dari kelas-kelas Sekolah Minggu (dalam tradisi gereja Baptis di Amerika selain kebaktian minggu, ada juga kelas-kelas untuk pendalaman Alkitab yang disebut Sunday Schools) ke ambiguitas moral Alkitab.“I’ve changed my ideas about a lot of things,” Henry berkata kepada sepupunya setelah janji untuk menjaga keperjakaannya luluh di hadapan Marleen Green. Sang sepupu menanyakan apa yang terjadi. “I started reading the Bible,” katanya. Ia baru benar-benar membaca Alkitab ketika diperhadapkan dengan pergumulan eksistensial. 


Bukankah hidup kita seringkali seperti Henry Dampier?

Kita menyangka kita telah berada di jalan yang benar, kita telah bekerja pada orang yang benar, kita telah membela orang yang benar, kita telah memegang ideologi yang benar, kita telah melakukan yang benar, tetapi sebenarnya kita bersandar pada tiang yang salah. Banyak kali tanpa kita sadari kita sebenarnya sedang membela para penjahat, dan penipu, dan pembunuh dan kita menyangka kita sedang melayani Tuhan lewat apa yang kita lakukan.

Seperti Henry kita menyangka kita sedang bekerja sebagai abdi negara, yang membolehkan kita untuk melanggarkan sejumlah prinsip moral dan etis, tetapi sesungguhnya kita sedang mengabdi pada para penipu yang memperalat kita untuk kepentingan mereka saja. Kita begitu naive untuk tidak mengetahui ke mana, dari mana dan untuk apa kerja yang kita lakukan.  Ada juga yang sadar namun tidak berdaya untuk melepaskan diri, atau sudah merasa nyaman dalam kejahatan sehingga dan berusaha merasionalisasi apa yang sedang dijalani.

Ketika kita tidak sadar akan apa yang kita lakukan kita akan berkata “kita hanyalah penjual Alkitab”, Cuma sebuah buku, sebuah barang yang sedang kita jual, seperti halnya barang-barang dan buku lainnya. Tetapi ketika kita diperhadapkan dengan dilema-dilema moral dan etis dalam pekerjaan kita maka kita, seperti Henry, akan bilang “saya mulai membaca Alkitab”. Bukan sebuah buku lagi yang sedang kita perjualbelikan namun sebuah kuasa yang sedang kita hadapi, kuasa yang menggoncang iman kita, yang mengganggu kesadaran dan nurani kita. Sebelumnya kita hanya “menjual Alkitab”, kini kita mulai “membaca Alkitab”.

Kembali ke film Gangster Squad, kita mengerti sekarang mengapa sersan Jerry Wooters (Ryan Gosling) mengaku kepada Grace Faraday (Emma Stone) bahwa ia adalah seorang penjual Alkitab. Para polisi sedang melakukan sesuatu yang mereka tahu salah: main hakim sendiri melawan para bandit, membantai para bandit tanpa jalur hukum. Sersan John O'Mara bahkan berkata: “We are not solved any case here, we are going to war!”. 

Mereka tahu tugas mereka sebagai polisi adalah melindungi tetapi karena para gangster sudah tak bisa diatasi lagi, mereka mengatasinya dengan cara mereka sendiri. Dan mereka sadar itu salah tapi mereka tak punya pilihan. Jerry Wooters saat hendak menembak seorang musuh yang terjatuh, sang musuh berkata: “kamu tak mungkin melakukan ini, kamu seorang polisi.” Wooters berkata: “tidak lagi,” lalu menembak orang itu.  Tulisan dalam trailer itu berbunyi: “To save the law, break it!”

Itulah para penjual Alkitab yang merasa tak ada hubungan antara apa yang mereka lakukan dan apa yang tertulis dalam Alkitab. Menjual Alkitab adalah satu hal, membaca dan menaati Alkitab adalah hal yang berbeda.