Saturday, June 01, 2013

Cerita tentang manuscript “Potong Kepala” diselamatkan di Bi Naus, Timor

Naskah yang terselamatkan, dan beberapa catatan P Middelkoop.
Tidak banyak orang menulis tentang bagaimana pratek berburu kepala (headhunting) dulu dilakukan oleh orang Timor. Pieter Middelkoop adalah salah satu dari sedikit orang yang telah melakukan pencatatan-pencatatan tentang bagaimana latar belakang dan bagaimana praktek ini dilakukan. Cerita tentang bagaimana praktek ini dilakukan akan saya bahas dalam sebuah paper yang akan keluar beberapa saat lagi, namun dalam artikel ini saya hanya ingin menceritakan sebuah kisah unik bagaimana bahan-bahan yang sangat langka mengenai praktek ini bisa diselamatkan oleh orang-orang Timor pada zaman pendudukan Jepang.

Misionaris Pieter Middelkoop yang sangat di kenal masyarakat Timor Tengah Selatan melakukan melakukan wawancara terhadap orang-orang yang masih hidup yang pernah melakukan praktek ini sebelum Perang Dunia Kedua. Sayangnya, Jepang mendarat. Middelkoop ditangkap bersama keluarganya dan dimasukkan ke Kamp Penahanan Jepang di Pare-Pare, Sulawesi pada bulan September 1943. Pada bulan Oktober 1944 mereka dipindahkan ke Botjo dan pada bulan Mei 1945 ke Bolong dekat Makale.

Untunglah sebelum ditangkap di Timor, Middelkoop telah mengumpulkan semua naskah pentingnya bersama dengan naskah-naskah tentang “berburu kepala” ini kemudian ia masukan ke dalam kaleng minyak. Ia percayakan naskah-naskah kepada teman-temannya, orang Kristen di desa Bi Naus pada 1 Maret 1942. Ia melakukan hal ini karena rumor beredar bahwa para tentara Jepang akan datang mencari barang-barang berharga yang ditinggalkan oleh para ‘Oranda’, sebutan terhadap orang Belanda oleh orang Jepang.

Kabar tentang bahan-bahan penting ini akhirnya sampai juga ke telinga para serdadu Jepang lewat para kolaborator. Karena ketakutan, para penduduk  Bi Naus membuang sebagian isi dari bahan-bahan ini pada bulan Juni 1945. Ternyata benar, pada bulan Juli para serdadu Jepang datang mencari. Untung mereka tak menemukan apa-apa.

Pada bulan Agustus 1945 Middelkoop dilepaskan dan dibawa ke Makasar. Sebenarnya Middelkoop punya kesempatan untuk memulihkan kesehatan dan kekuataannya di Australia, tapi ia memilih pulang ke Timor. “We were too eager to go back to Timor to find out whether the contents of the oil cans had been kept safe,” kata Middelkoop. 

Akhirnya Middelkoop dan istrinya mendapatkan penerbangan pertama dari Makasar ke Balikpapan dan dari sana mereka ke Timor. Mereka tiba di So'e pada tanggal 4 November 1945 dan keesokkan harinya sahabat-sahabatnya dari Bi Naus itupun datang menemuinya. Mereka mengatakan bahwa arena ketakutan kepada pihak Jepang, mereka telah membuang isi kaleng itu di suatu tempat. Middelkoop memohon kepada mereka untuk mencari kembali bahan-bahan sebisa yang mereka temukan. Mereka melakukannya dan menemukan kembali beberapa bahan yang yang telah bercampur dengan tanah. Beberapa minggu kemudian hujan turun untuk pertama kalinya di tahun itu, dan menurut Middelkoop ia dan istrinya telah datang pada saat yang tepat untuk menyelematkan bahan-bahan itu. Jika seandainya mereka ke Australia untuk memulihkan kesehatan mereka terlebih dahulu, mungkin bahan-bahan yang telah dibuang itu tidak terselamatkan.

Bahan-bahan ini kemudian diterbitkan oleh Universitas Sydney pada tahun 1963 dalam tiga jilid monograf dengan judul ‘Head Hunting in Timor and its Historical Implications’. Dalam monograf yang telah menjadi klasik dalam penelitian tentang Timor ini hanya ada tambahan satu bahan (Text E) yang dicatat oleh Middelkoop setelah Perang Dunia Kedua. Bahan-bahan yang lengkap dan bahasa Timor dan terjemahan Inggrisnya ini kemudian secara luas digunakan oleh para ahli yang pernah menulis tentang Timor seperti Henk Schulte Nordholt atau Andrew McWilliam dll.

Dalam pengantar untuk terbitan itu Middelkoop menulis demikian: “Tak akan pernah saya lupakan bagaimana, pada saat terkahir saya menuliskan dan membaca kembali naskah pada Text B yang berasal dari Bi Naus, pada sebuah Minggu sore kami semua terdiam dalam kesunyian. Walaupun echo dari kepuasan kemenangan terdengar dalam penuturan kembali pekik-perang dan kesuksesan perburuan kepala yang mengikutinya, seorang tetua, Noch Na’u berbicara dalam emosi yang sangat jujur. Ia bilang: ‘Pak, di masa lalu kami bangga akan kebenaran pekik perang kami dan kepala yang kami dapatkan, tapi sekarang kami tahu bahwa itu dosa.’ Semua yang hadir terdiam.”
Lebih dari enam puluh tahun kemudian, saya membaca terbitan yang bahan-bahan terbuang yang diselamatkan itu untuk kepentingan study saya. Terima kasih bapa, mama di Bi Naus yang telah jujur menceritakan masa lalunya. Terima kasih untuk opa Pieter Middelkoop, anthropolog generasi pertama Timor yang meninggalkan bahan-bahan yang cukup bersejarah. Tanpa kalian, kami mungkin tak akan tahu masa lalu para leluhur kami.

Antroplog terkenal Malinowski berkata: “We cannot possibly reach the final Socratic wisdom of knowing ourselves if we never leave the narrow confinement of the customs, beliefs and prejudices into which every man is born.”

Smaragdlaan 136

Leiden, 1 Juni 2013.